CONCEPT EDISI 10

CONCEPT EDISI 10
ISENG

Witty Design
Karya Grafis yang Memancing Senyum

Pernahkah Anda menyungging senyum kala memandangi sebuah karya desain? Jika pernah, mari tersenyum lagi. Jika belum, sekaranglah saatnya!

Bukan tanpa alasan Concept memilih tema Witty Design. Anda pasti tak asing dengan yang namanya April Mop, kan? Hari yang menurut Jerry Aurum merupakan ‘sarana untuk mengejutkan dan terkejut tanpa harus marah’ ini memang tak sepopuler Valentine’s Day. Tapi tak ada salahnya kita jadikan ‘cantelan’ untuk mengungkapkan sesuatu. Jika pelaku April Mop ada saja yang senang ‘ngerjain’ atau iseng-iseng mengesalkan (lihat box halaman 19), Concept memilih mengajak Anda tersenyum bersama karya-karya yang witty alias jenaka. Namun karena dihubungkan dengan April Mop, desain jenaka yang Concept tampilkan cenderung mengejutkan ataupun membuat dahi Anda mengernyit bingung. Memang ukuran jenaka akan berbeda bagi setiap orang, seperti yang diungkap Glenn Marsalim, “Yang lucu atau mengejutkan bagi seseorang, belum tentu lucu atau mengejutkan bagi yang lain”, namun Concept yakin, setidaknya ada satu yang mampu memancing senyum Anda…

Berikut petikan pendapat beberapa narasumber:

Priyanto Sunarto :
Nakal – Iseng – Kreatif!

“Graphic Designer pada dasarnya harus memiliki kecenderungan untuk nakal atau iseng, barulah dapat menghasilkan karya yang kreatif. Dengan begitu, desainnya akan dapat memberi pemecahan yang tak terduga…,” demikian pendapat Priyanto, Desainer Grafis dan Ilustrator senior, mengenai desain yang memancing senyum. Pengajar di Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Institut Kesenian Jakarta (IKJ) yang merasa lebih nyaman dipanggil guru dibanding dosen ini, lalu melanjutkan, “Jika anak kecil nakal, orangtuanya harusnya senang, karena anak nakal umumnya pintar. Rasa ingin tahunya tinggi. Justru kalau punya anak yang penurut dan pendiam, orangtuanya harus aware!”

Priyanto mengungkap, bahwa desainer kaliber yang top, kebanyakan iseng. Karyanya kebanyakan mengundang senyum, aplaus (pujian, red), atau kekagetan. Beliau lalu menyebut nama Gert Dumbar, desainer Belanda yang mulai popular tahun 80-an dan kini menjadi salah satu dari 10 desainer grafis terkemuka dunia. Beliau lantas menceritakan pengalaman Indarsjah (yang tahun 1987 bekerja di Studio Dumbar) yang kebingungan menatap Dumbar, kala suatu saat sepulang kerja Dumbar tiba-tiba turun dari mobilnya untuk mengambil sesuatu di tempat sampah. “Ini barang lucu. Entah mungkin suatu saat bisa jadi ide grafis,” begitu alasan Dumbar pada Indarsjah sambil meletakkan benda itu di bagasi.

Desainer lokal yang dikenal beliau sangat iseng adalah T. Soetanto, kartunis handal sejak 1966 (zaman anti Soekarno dan anti Soeharto). Pegrafis sekaligus guru desain grafis yang meraih gelar M.Sc.-nya dari Pratt NY ini digelari ahli iseng dan kocak. “Sutanto memang cara mikirnya tak umum. Misalnya, mempertanyakan dari sisi berbeda, tak suka beken dan menonjol. Beliau termasuk tokoh yang diam-diam jadi “inspirator” bagi banyak seniman dan desainer. Misalnya, mengangkat yang kampungan, murahan, bodoh dalam berkarya; dan yang pertama muncul dari beliau awal 70an: spirit anti hero, anti mapan, anti estetik, merayakan yang dinilai orang lain remeh,” terang Priyanto mengenai rekannya yang akan mengakhiri aktivitas mengajar seminggu sekalinya di DKV ITB, pertengahan tahun ini.
Priyanto menyambung, “Karyanya sering mengejutkan, berisi gagasan yang tak terpikir orang lain. Yang paling ekstrim, saat pameran gambar ‘Persegi 1981’. Beliau hanya memamerkan kertas kosong besar lengkap dengan kaca dan pigura. Di bawah pigura (tempelan di tembok seperti judul karya, red) diberi tulisan: Bayangkanlah, gambar seorang gadis cantik dengan kulit di dalam dan daging di luar dan bulan yang berbentuk kristal rontok, bunyinya berdentingan…..dan seterusnya. Ada delapan pigura kosong dengan delapan caption ‘bayangkan’ yang berbeda. Karya-karya ini dipamerkan keliling Jawa (Jakarta, Bandung, Yogya, Solo). Waktu melihat karya ini, Ashadi Siregar langsung protes: Bagaimana kalau karya Anda ditafsir tukang becak yang imajinasinya tak sama dengan yang Anda (seniman) inginkan? Sutanto menjawab ringan, “Ya biarin, kan demokratis…!”

Anto Widya Ismael :
Lahir Secara Spontan

Menurut Anton, Art Director yang lebih dikenal sebagai Fotografer ini, desain – dalam bentuk apapun – punya kecenderungan untuk ‘nyeleneh’ atau mengundang senyum. “Desain nyeleneh atau mengundang senyum tak bisa dirancang atau direkayasa. Artinya, sang desainer harus jujur dalam berkarya. Tanpa kejujuran, karya tersebut akan terasa janggal, tidak luwes,” tuturnya lembut namun mengandung penekanan. Anton menganalogikan nyeleneh dalam kejujuran seperti seorang anak kecil yang naik angkutan umum. Begitu masuk, si anak tiba-tiba spontan berteriak, “Bau!” Memang terasa tak sopan, membuat risih, mengundang senyum, dan mungkin kurang ajar. Namun, itulah kenyataan yang sebenarnya. Sebuah kejujuran yang menyentak, namun mengandung kebenaran. Desain nyeleneh – terutama yang mengundang senyum –  pun seperti itu. Jujur, menyentak, membuat risih, tapi mampu menyadarkan orang akan banyak hal. Rekan yang pernah terlibat kerjasama dengan Anton, sering mengomentari karyanya “Very Unpredictable!” Anton mengaku dirinya lebih dinamis karena menjalani hidup dan berkarya dalam spontanitas…

Irwan Ahmett :
Perlu Rekayasa

Berbicara mengenai desain yang mengundang senyum atau nyeleneh, tak afdol jika Irwan Ahmett yang karib disapa Iwang, tak dilibatkan. Bukan apa-apa, karya Desainer Grafis lulusan Institut Kesenian Jakarta ini memang kerap menjurus ke arah itu. Tengok saja karya-karyanya untuk kampanye “Change-Yourself” (CYS). Selain membuka paradigma baru mengenai karya desain grafis, juga mampu menyentak, nyeleneh dan mengundang senyum, walau terasa getir.

Berbeda dengan Anton, Iwang mengaku selalu merencanakan karyanya secara matang, dengan konsep yang terencana. “Meski inspirasi suatu karya – terutama yang nyeleneh dan mengundang senyum –   bisa muncul secara spontan, dalam eksekusinya tetap perlu perencanaan matang.  Artinya, tetap perlu ada ‘rekayasa’ dalam penciptaan karya yang nyeleneh tersebut. Sulit mengeksekusi karya-karya semacam itu secara spontan,” aku Iwang.

Apa yang diucapkan Iwang tergambar jelas dalam varian aplikasi kampanye CYS. Tanpa perencanaan yang matang, mustahil karya semacam CYS itu bisa ditampilkan.

Jerry Aurum :
Tak Harus Leras dan Baru

Karya Jerry Aurum, Fotografer yang juga Desainer Grafis, banyak yang mengundang senyum dan mengandung unsur surprising (mengejutkan, red), atau meminjam ungkapan rekan-rekan Anton Ismael, unpredictable! Dalam parameter Jerry, “Desain yang mengejutkan dan mengundang senyum tak mudah lepas dari ingatan. Kejutannya bisa teriakan bisa bisikan. Bisa karena rupa atau konteks, dan tak harus segera mengejutkan. Kekagetan yang dimunculkan juga tak harus keras (heboh, red), bahkan bisa saja kejutannya bertahap sedikit demi sedikit. Dengan kata lain, kejutannya tak hanya satu, tapi dalam kejutan yang satu, mengandung beberapa kejutan lain,” rincinya bersemangat.

Lebih jauh Jerry membeberkan, bahwa kejutan tak selalu berasal dari sesuatu yang benar-benar baru. “Sagmeister banyak melakukan riset menggunakan ilustrasi optik yang diterapkan dalam stationery, logo, buku dan brosur. Sebelumnya sudah banyak yang menggunakan, tapi diterapkan dalam desain corporate. Begitu dimunculkan kembali dalam format lain, jadi komunikasi visual yang cukup mengejutkan,” terangnya memberi contoh yang lebih menitikberatkan pada unsur kejutan, dengan kadar pancingan senyum yang bias.

Contoh lain dari karyanya sendiri, Jerry menunjukkan seri annual report XL yang dibuat dengan tujuan meng-encourage orang untuk keep communicating. Tampak pada cover annual report tersebut, menempel keypad Nokia.
Ada dua karya lain yang membuat mata penulis berbinar senyum dan berkata, “Kok, bisa kepikiran ya? Bikin kayak gitu!” Pertama, Calendar 2002- Tanada dengan titel “Like Fashion Like Car” di mana model difoto dari samping dengan barisan giwang dan anting menyerupai tools yang biasa kita lihat di seputar setir mobil.
Kedua, sampul Company Profile Jerry Aurum Design & Photography, yang penuh spot UV jejak-jejak kaki yang ternyata gabungan hasil scan telapak kaki seluruh karyawan. Hal ini menggambarkan perjalanan perusahaannya tak lepas dari langkah-langkah karyawan-karyawannya tersebut.

Rupanya, Jerry senang memberikan kejutan yang membisik dan memancing senyum tipis…

Glenn Marsalim :
Harus Mengandung Pesan

Bagi Creative Freelancer yang pernah bekerja di OgilvyOne (anak perusahaan Ogilvy, red), Glenn Marsalim, desain tak harus memancing senyum atau mengejutkan. “Saya tak pernah sengaja membuat desain yang mengundang senyum ataupun mengejutkan. Dan menurut saya, tak ada karya saya yang mengejutkan. Entah penilai yang melihat. Tapi sejauh ingatan saya, tak ada yang memberi komentar secara gamblang, kalau desain saya mengejutkan,“ paparnya lugas. Glenn teguh berprinsip, bahwa desain sangat bergantung pada pesan yang ingin disampaikan. Apa yang ditampilkan harus dimengerti oleh yang melihatnya. “Apakah setiap desain yang Anda lihat, Anda mengerti maksudnya? Atau Anda mengerti setelah diceritakan latar belakangnya?” Glenn melepaskan pertanyaan ganda mendukung pernyataannya tadi. Sebaliknya, ketika ditanya, adakah desain orang lain yang berhasil memancing kekagetan atau sekadar senyumnya?, Glenn menjawab dengan senyuman seraya berkata, “Yang mengagetkan dan lucu banyak. Tapi saya sering kecewa ketika menemukan tidak adanya makna atau tujuan apa-apa di balik desain itu. Saya lalu merasa diperdaya, dibohongi dan merasa tolol!” .Terlepas dari penilaiannya yang kritis, saya rasa Anda setuju, bahwa beberapa karya Glenn yang Concept tampilkan, mampu menjala senyuman.

Melanggar Aturan Menuai Kontroversial

Desain grafis memang tengah tumbuh pesat. Peminatnya makin sarat dan mayoritas berusia muda. Menyikapi hal ini, Anton Ismael meramalkan, “Desain-desain nyeleneh tersebut ke depan bisa lebih eksis. Pasalnya, dunia desain dan ‘art’ saat ini tengah disapu ‘gelombang’ anak muda. Jumlah pegrafis muda yang tak sedikit ini, mau tak mau membawa perubahan yang amat berarti. Selera yang lebih segar dan berani pun muncul dari karya-karya golongan yang cenderung nyeleneh ini.” Tapi rupanya, desain yang mengundang senyuman tak selalu aman-aman saja…

Priyanto Sunarto : Dituduh Menebar Kritik Sosial
Sesuatu yang kontroversial biasanya terkait langsung dengan pelanggaran. Priyanto banyak berbagi mengenai hal ini. Beliau menjelaskan dengan terperinci, “Van Peursen (budayawan asal Belanda; pengajar di UGM tahun 70an; pernah menerbitkan buku “Strategi Kebudayaan”, red) menggambarkan tentang 2 (dua) macam realitas; Logical Reality dan Surprising Reality. Yang dimaksud dengan logical and surprising reality adalah, cara kita melihat sesuatu dapat dipilah dalam dua cara lihat: berdasarkan logika, berdasarkan rasa. Misalnya, kita tahu bahwa sunset adalah fenomena alam di mana matahari berada di garis horison, hingga cahaya yang menembus melalui atmosfir jadi lebih tebal dan melalui proses fisika jadi berwarna kemerahan, itulah logical reality. Sedangkan saat kita tetap tercenung duduk di depan sunset dan mengagumi warna lembayung yang menggelap, proses perasaan saat itu disebut surprising reality. Begitu juga waktu kita memandangi bulan purnama, Borobudur, Agnes Monica. Dengan kata lain, yang surprising kita apresiasi tanpa filter logika. Seniman biasanya sangat peka terhadap dua cara lihat ini, hingga berusaha mengganggu orang dengan menonjolkan realitas rasa (yang biasanya surprising). Dan ini yang mungkin bisa jadi alasan, kenapa seniman ataupun desainer grafis senang mempermainkan logika. Contoh kejutan yang sehari-hari kita bisa temui, antara lain iklan rokok A Mild. Biasanya ini terjadi pada olah komunikasi yang menggunakan konotasi dan berusaha mengacaukan tafsir kita. David Carson membuat kejutan dengan melanggar banyak aturan. Tapi suatu saat, Carson bisa saja jadi bosan dan mencari kejutan baru lagi. Banyak yang tak setuju dengan pelanggaran yang dilakukan Carson. Tapi Neville Brody (desainer grafis Inggris) justru menganjurkan,  “Pelajari semua aturan untuk dilanggar!”

Menurut Priyanto, karya kreatif bisa saja merupakan pelanggaran yang dikasih aplaus. “Celakanya, kita tak pernah tahu kapan dikasih aplaus,” tuturnya disusul gelak dan kemudian menambahkan, “Tapi bukan itu tujuannya. Yang penting, dalam berkarya, kita harus mampu melihat sesuatu yang sama dari sisi yang berbeda. Bayangkan kalau dari zaman dulu tak ada yang berpikir begitu, pasti tak akan pernah ada yang namanya perubahan. Lin Yu Tang (ahli filsafat Cina) pernah berkelakar, ketika orang Cina melihat sesuatu, yang terlintas di pikirannya, apakah benda ini bisa dimakan?” Anda bisa saja tergelak mendengar hal ini, tapi penulis sependapat dengan beliau. Jika kisah ini ditelaah lebih jauh, tak heran jika orang Cina menemukan begitu banyak jenis makanan dan ramuan obat.

Kembali ke pokok soal, Priyanto menyambut dengan tawa, saat ditanya; adakah karya beliau yang mengejutkan dan melanggar aturan? Jawabnya, “Saya pernah membuat karya grafis print di mana saya mengubah peta Indonesia, dengan menukar-nukar letaknya. Gagasannya simpel banget, kok! Siapa sih yang pernah lihat dengan mata kepala sendiri bentuk kepulauan Indonesia? Apa betul seperti yang dari kecil kita diajarin? Pikiran iseng, gimana kalau di Bandung ada pantai seperti Ancol? Naik feri ke Jakarta? Penduduk Jawa yang paling padat bisa menikmati wisata laut lebih banyak karena garis pantainya terpanjang… Namanya juga iseng, meski waktu ngerjainnya setengah mati (nentuin lokasi yang tetap sama tapi pulaunya lain, pake instant letter gosokin huruf nama-nama kota dan laut, garis laut, udara, hingga Palung Natuna sebagai saingan Bermuda Triangle)…” Beliau lalu mengakhiri penjelasan dengan ceplosan ringan, “Serius tapi iseng, gitu…!”

Karya yang pernah dipamerkan dalam “79 Binneal Seniman Muda” di TIM dan selanjutnya dipamerkan di mana-mana ini kemudian sempat dituduh mengandung kritik sosial. “Saya sampai terpaksa bikin surat pembaca di Tempo, bahwa itu bukan kritik sosial melainkan proposal proyek, yang kalau pemerintah punya dana pasti bisa direalisasikan,” beber Priyanto menyungging senyum.

Ada kejadian lucu saat peta tersebut dikerjakan. Salah satu pekerja cetak yang sudah berumur, sempat meminta Pak Pri membagi selembar untuk cucunya belajar. Teman-temannya yang paham lantas tertawa dan berseloroh, “Nanti anaknya bisa kesasar!” Yang tak kalah jenaka, salah satu copy peta tersebut dibeli sekretaris daerah gubernur Aceh masa itu, untuk sengaja ngisengin tamu-tamunya. Jika mata Anda kurang awas, peta karya beliau tersebut memang mengecoh.

“Kalau punya ide iseng, coba diseriuskan!” saran Priyanto yang juga membagi tips keberanian, “Meskipun job yang dikerjakan datang dari klien, desainer harus bisa mengambil kesempatan untuk dapat berbuat sesuatu. Contoh sederhana, saat mendesain headline berita, judulnya dibuat dengan ukuran font yang lebih kecil dari bodytext atau letaknya tidak di atas tapi di tepi, di bawah atau dibalik…”

Antonius Widya Ismael : Kena Cekal!
Jika seniornya, Priyanto, sempat dituduh membuat karya yang mengandung kritik sosial, Anton jauh lebih parah. “Desain-desain nyeleneh kurang bisa diterima di Indonesia. Publik masih resisten terhadap desain-desain dengan gaya itu. Masih perlu pembelajaran. Kadang masyarakat tak mau menerima, walau karya tersebut jujur mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi,” keluhnya.
Karya Anton memang riskan menuai cekal. Salah satunya yang dijuduli “Love Hurts,” menampakkan visual seorang gadis tengah menjulurkan lidah ke arah kaktus yang (maaf) menyerupai kelamin laki-laki.  Dan jika menilik rangkaian karyanya yang lain, Anda akan menemui hal-hal yang kurang lebih lahir dari pemikiran serupa. Sebagian mungkin ‘risih’ melihatnya, tapi  bagi yang lain, akan menatap antusias diiringi gelengan sambil tersenyum geli!  Diakuinya, beberapa rencana pamerannya pernah gagal, lantaran penolakan masyarakat dan beberapa instansi terhadap karya-karyanya yang ‘z’ tersebut. Pelarangan-pelarangan ini kerap membuatnya frustasi.

Irwan Ahmett : Bermain di Wilayah Abu-Abu
Lantas, apa trik Iwang dalam menyiasati hal ini? “Setiap desainer memiliki kerangka atau batasan tersendiri saat berkarya. Batasan-batasan tersebut punya kemungkinan-kemungkinan beragam. Artinya, bisa diterima secara baik oleh publik, tapi juga dapat mengundang kontroversi berkepanjangan. Akhirnya, agar karya tersebut lebih ‘aman’, banyak di antara para seniman yang memilih bermain di ‘wilayah abu-abu’. Saya salah satunya.” Dengan cepat ia menyambung, “Karya yang mengundang senyum atau nyeleneh biasanya lahir dari keadaan ini. Sang seniman menyampaikan pesan lewat sesuatu yang ‘tak hitam tak pula putih.’ Maksudnya, sang seniman bisa saja mengkritisi suatu persoalan lewat bentuk atau tampilan dua dimensi, namun tidak secara gamblang. Walau begitu, dari apa yang tersirat, pesan-pesan tajam masih diupayakan agar tetap berhasil disampaikan.” Iwang juga memberi contoh, bahwa kita masih bisa menyebut seseorang ‘berkulit gelap’ untuk menyatakan bahwa orang itu ‘hitam’, misalnya. Pesan yang ingin disampaikan mengena, namun potensi ‘ketersinggungan’ bisa sedikit diredam.

Namun, jujur Iwang mengakui kalau desain-desain yang cenderung nyeleneh yang terbangun dari suasana abu-abu ini pun kadang berkendala dalam kesempurnaan penyampaian pesan. Keanekaragaman latar belakang masyarakat secara otomatis memunculkan persepsi yang beragam pula. Ada yang mampu mencerna karya yang nyeleneh atau mengundang senyum menjadi sesuatu yang bermanfaat dan membawa perubahan berarti, ada pula yang menganggap karya seperti itu hanya hiburan semata. “Ini pekerjaan rumah bagi para desainer. Perlu solusi. Masalahnya, bila mau jujur, budaya visual masyarakat kita memang masih amat lemah,” ujarnya dalam nada kecewa.

Jerry Aurum : Perhitungkan Resiko dan Gunakan Hati
“Eksak aja diperdebatkan. Gimana seni?” demikian Jerry menyambut pertanyaan seputar perdebatan masalah desain nyeleneh. Ia memiliki keluhan yang sama dengan Anton dan Iwang, “Indonesia memiliki budaya yang tinggi, seniman hebat banyak, keterbukaan dan adaptasi terhadap budaya luar lebih cepat dari Malaysia, tapi yang mengejutkan dari masyarakat kita, melek seninya lamban sekali.” Sehubungan dengan hal itu, Jerry mengusulkan pembelajaran pendidikan seni untuk disebarluaskan melalui media apapun dengan cara apapun dan harus dilakukan dengan terbuka – misalnya diskusi seni di televisi – agar masyarakat dapat menjudge seni sebagai sebuah kenyataan. Ia bahkan mengisahkan pengalamannya saat berkesempatan mengunjungi Spanyol, “Saya berpapasan dengan rombongan anak-anak kecil yang sedang belajar mengapresiasi karya arsitek dunia, Gaudi, sementara di saat yang sama anak-anak di sebagian besar wilayah Indonesia malah tengah asik main lompat tali.”

Tapi Jerry juga menganjurkan, dalam berkarya desainer harus memperhitungkan resiko. Unsur kontradiksi, pro dan kontra, untung-rugi, baik-buruk, benar-salah jangan sampai diabaikan begitu saja. Dalam sebuah karya foto print yang dipajangnya saat pameran Forum Grafika Digital- 2005 (FGD’05), di mana boneka beruang imut berbulu lembut seputih salju disobek dadanya sampai kelihatan jantungnya, mengandung pesan, “Dalam berkarya, desainer harus pake hati…”
(Jantung yang dimasukkan dalam boneka tadi, adalah jantung asli yang sengaja dipesan dari penjual kambing, red).

Glenn Marsalim : Jujur
Komentar yang cukup tajam datang dari Glenn. “Saya pikir, waktunya bagi kita untuk kembali ke meja belajar dan kerja kita masing-masing dan mulai menjelajahi hati kita. Tanggalkan semua atribut dan ego  sebelum berniat membuat sebuah karya yang mengundang senyum, kontroversial, mengejutkan, menggelitik atau apapun. Sudah seberapa jujurkah pesan yang hendak kita sampaikan? Atau kita sekadar mencari sensasi kosong? Hanya karya yang jujur dan bening dengan pesannyalah yang akan tinggal di hati yang melihat, bisa jadi untuk selamanya…”

Finally, Concept berharap, berbagai pendapat mengenai Witty Design yang berkembang ke surprising dan nyeleneh hingga cekal-mencekal dan wawasan seni ini, dapat berguna bagi segenap pembaca. Anda boleh saja setuju dengan pendapat yang satu dan tak setuju dengan yang lain. Tapi, lepas dari semua itu, mari sama-sama kita lemaskan ketegangan otot-otot kita dengan menikmati karya-karya brilliant mereka.

Selamat menyungging senyum…!

(Dikemas ulang oleh Ediron berdasarkan hasil wawancara Anton Ryadie dengan Anton Ismael dan Irwan Ahmett, serta wawancara Ronald dengan Priyanto Sunarto, Jerry Aurum dan Glenn Marsalim).


April Mop
Saatnya Bebas Berkelakar!

Istilah April Mop mungkin banyak yang tahu. Tapi ketika ditanya lebih jauh, jarang ada yang benar-benar mengerti. Kebetulan Fokus kali ini dikaitkan dengan April Mop, jadi tak ada salahnya kita bahas sekilas pintas!

Setiap tanggal 1 April tiba, perkara jahil-menjahili tak dianggap salah. Umumnya, pelaku menjebak korban dengan tipuan atau kebohongan sesaat. Leluconnya bisa yang mengejutkan, mengesalkan, bahkan menyenangkan. Misalnya, dinyatakan menang undian besar. Setelah korban memakan umpannya, pelaku baru mengaku dan berseru “Kena lu! Eit, gak  boleh marah… Kan, April- Mop!?” atau sekadar menyanyikan potongan lagu “Tertipu” ciptaan Nugie sambil tertawa penuh kemenangan. Korban bisa saja kesal, tapi umumnya segera memaafkan. Namanya juga April Mop!

Iwang menyetujui April Mop sebagai jokes- day, untuk melakukan sesuatu yang beda tapi fun! Sarannya, jangan terlalu jauh hingga menyakiti atau merugikan. Ia juga menyinggung rumor April Mop yang dinilainya keren, tentang pindahnya David Beckham dari klubnya. Beritanya lengkap dengan nomor punggung yang akan digunakan Beckham di klubnya yang baru. Rumor lain yang mengundang kepanikan massal, mengenai Y2K. “Memang tak terjadi pas 1 April. Tapi kurang lebih, seperti itulah April Mop!” demikian pendapat Iwang.

Sayangnya, tak banyak info yang bisa ditemui mengenai hari “iseng” tersebut. April Mop memang bukan tipikal tradisi yang dirayakan secara khusus layaknya Christmas, Valentine, Mother’s Day, dan perayaan lainnya…

Budaya Kolonial
April Mop kini dikenal luas di berbagai benua. Di Inggris dan negara-negara barat lainnya, April Mop dikenal dengan istilah April Fool. Banyak yang menduga, tradisi ini masuk ke Indonesia semasa penjajahan Belanda. Kata mop sendiri dalam bahasa Belanda berarti kelakar. Lucunya, dalam bahasa Inggris, mop berarti alat pengepel lantai. Adakah hubungan antara alat pengepel lantai dengan kelakar? Hm… mungkin jawabannya bisa Anda jadikan ide untuk merayakan April Mop tahun ini.

Bekas Tahun Baru
Sejarah April Mop yang paling terkenal bisa jadi yang berasal dari Perancis. Perancis adalah negara pertama yang mengadopsi sistem kalender Gregorian. Tahun 1564, Charles IX menetapkan tahun baru yang semula jatuh pada tanggal 1 April, diubah menjadi 1 Januari. Kalangan yang menolak, tetap merayakan tahun baru pada tanggal 1 April. Festivalnya biasa dimulai semenjak seminggu sebelumnya, yakni 25 Maret. Nah, begitu 1 April tiba, mereka yang setuju dengan sistem penanggalan baru Gregorian lantas memberi hadiah dan ucapan selamat tahun baru ‘palsu’ pada kalangan yang menolak tadi dengan tujuan mengejek. Kelompok yang jadi bulan-bulanan itu disebut April Fools. Meski begitu, penjelasan ini tak bisa dipastikan kebenarannya, mengingat sebelum Charles IX mengenalkan sistem penanggalan Gregorian, telah ada beberapa keterangan dari Belanda yang berasal dari tahun 1508 dan 1539 yang menyebutkan tentang kelakar dan tradisi April Mop ini. Priyanto yang dikenal sebagai Seniman Grafis dan Ilustrator mengiyakan, “Bisa jadi budaya ini memang asli dari Belanda, karena Belanda terkenal dengan kebiasaan “ngeledek.” Apa saja diledek, termasuk keberadaan Tuhan. Tapi, kualitas ledekannya selalu bagus dan memancing tawa!”

Sejarah memang tak pernah pasti. Yang pasti, bagi yang hobi jahil, 1 April akan menjadi hari kebesaran mereka. Sementara bagi sebagian saudara kita yang tinggal di kota Malang, 1 April akan mereka peringati sebagai hari jadi kota tersayang. Boleh-boleh saja, toh?

Menghormati Bokong
Cipto Mangunkusumo bisa jadi adalah orang Indonesia pertama yang “merayakan” April Mop, penuh sukacita. Konon, ketika dokter ini diserahi penghargaan Oranje Nassau oleh utusan Ratu Belanda atas pengabdiannya mengobati penderita pes, beliau melakukan aksi nekat. Penghargaan bergengsi yang harusnya tersemat di dada, malah dicopot lalu disematkan di bagian bokongnya! Namun, pihak Belanda tetap memberi hormat kepada Oranje Nassau yang tersemat di bokong Cipto Mangunkusumo tanpa amarah, karena “insiden” itu terjadi tepat pada tanggal 1 April. Ada-ada saja…

Dalam Pengalaman Mereka

Priyanto Sunarto
Priyanto mengaku tak perlu menunggu April Mop untuk jahil. Karena beliau bersama Alm. Prinka terkenal sering jahil. “Terlalu lama jika harus menunggu April Mop,” kelakarnya. Beliau lantas mengenang masa-masa dikerjai kakaknya, “Saat itu saya masih di bangku SD. Ketika 1 April tiba, pagi-pagi saya sudah memandangi langit, mencari-cari ‘Piring Terbang’ yang diceritakan kakak saya. Haha…,“ tawanya pun berderai…!

Jerry Aurum
Jika Priyanto menunggui piring terbang, Jerry pernah di-sms temannya yang mengabarkan bayinya baru saja dilahirkan. Untung saja sebelum menjenguk, Jerry sempat konfirmasi lewat telpon. Temannya terbahak-bahak berkata kalau Jerry orang ke-22 yang terjebak! “Saya memang percaya awalnya, karena meski masih bujangan, teman saya itu berpotensi mendadak punya anak di luar nikah!” seringai Jerry.

Irwan Ahmett
Versi Iwang lain lagi. Ia pernah mengerjai…pacar sendiri! Kejadiannya berlangsung saat Iwang masih SMA. “Ceritanya saya mutusin dia. Setelah dia nyaris nangis, saya kasih amplop yang isinya bertulisan April Mop! Setelah kejadian itu, kami makin dekat,” cerita Iwang lewat selulernya.

Anton Ismael & Glenn Marsalim
Berbeda dengan yang lain, Anton dan Glenn mengaku belum pernah mengerjai ataupun dikerjai orang saat April Mop. Tapi Anton sendiri berjanji jika kebetulan punya waktu di 1 April nanti, akan ikut jahil. Anton sempat berkelakar, jangan-jangan Concept tengah mengerjainya, “Harus jaga-jaga, nih!” cetusnya dalam nada jenaka…(berbagai sumber/cussy/ediron)


Ken Cato
Inovator Solusi Desain di Bumi Selatan

Ken Cato mengaku tak pernah suka dengan istilah desainer grafis. Sepintas lalu pernyataan ini cukup mengejutkan, karena datangnya dari mulut seorang inovator solusi desain yang telah berkiprah selama 35 tahun dalam dunia desain internasional!

Kenneth Cato, alias Ken Cato yang akrab disapa Cato, saat ini menjabat Chairman & Executive Creative Director “Cato Purnell Partners,” sebuah grup perusahaan di bidang identity management dan desain paling terkenal di Australia. Berdiri di kota Melbourne tahun 1970, Cato Purnell Partners (CPP) kini menjadi salah satu perusahaan desain terbesar di bagian selatan bumi. Kekuatan solid antara Ken Cato dan rekannya Graham Purnell, menjadikan CPP sebagai satu-satunya jaringan desain internasional yang bermarkas di Australia. Kantornya tersebar di Sydney, Brisbane, Perth, Wellington, Buenos Aires, Barcelona, Santiago, Guadalajara, Mexico City, termasuk kantor-kantor perwakilan di London, Mumbai, New York, Singapore, Tokyo, Taipei, Dubai dan Guangzhou.

Tahun 2004 lalu, CPP ikut membidani proyek Baiyun Airport di China, Wellington Airport di Selandia Baru, Tijuana Festival, dan tembok perbatasan Mexico – AS. Tahun ini CPP terpilih untuk menangani proyek visual identity baru dari Glasgow Prestwick International Airport dan brand identity baru untuk bandara terbesar di dunia, yakni Jebel Ali Airport City di Dubai yang akan dibangun menjadi World Central.

Belajar dari Kesalahan dan Orang Lain
Sejak didirikan, CPP telah menjadi pionir solusi baru di bidang desain. Salah satunya adalah metodologi desain strategis yang disebut Broader Visual Language, sebuah sistem grafis yang memungkinkan perusahaan/klien berkomunikasi dengan pasarnya secara efektif menggunakan visual system yang mudah dikenali, sehingga menjamin visual continuity, kapanpun, dan dengan demikian memaksimalkan keberadaan pasar bagi klien. Cato mengatakannya sebagai sebuah komunikasi visual yang memungkinkan desainer menyingkap batasan-batasan budaya dan bahasa untuk kemudian memasuki pasar global.

Selama lebih dari 35 tahun, CPP telah mengembangkan solusi desain mutakhir bagi banyak organisasi terkemuka di Australia. Klien-kliennya meliputi merek-merek ternama seperti Arnott’s Biscuits, Cadbury Schweppes, Kraft Foods, Commonwealth Bank of Australia, Shell- Australia, David Jones, Seven Network, Australia Post, Carlton and United Breweries, Qantas, the Victorian Arts Centre, Melbourne  Grand Prix, Sidney Airport, NRMA, Mayne  Group, dan Pacific Brands. Hebatnya lagi, klien-klien CPP tersebut lekat menjalin kerja sama selama bertahun-tahun.

Pencapaian CPP itu tentunya seiring dengan kematangan usia. “Kematangan lahir dari pengalaman, yakni kemampuan perusahaan saya untuk tak hanya memproduksi desain grafis, namun juga memberi solusi dalam urusan bisnis dan mampu menawarkan insight yang hanya bisa diraih lewat pengalaman kerja,” demikian falsafah Cato. “35 tahun memberi Anda kesempatan untuk melakukan banyak kesalahan. Namun waktu selama itu juga memberikan kesempatan untuk bekerja dengan banyak pebisnis handal dan untuk mengerti pilihan-pilihan yang mereka ambil,” tambahnya.

Di samping belajar dari kesalahan, Cato juga tak keberatan belajar dari orang lain. Pergaulan Cato dengan banyak perusahaan dan banyak orang dari berbagai belahan dunia merupakan sebuah kehidupan yang sangat ia nikmati. Antusiasmenya yang besar untuk belajar banyak hal dari setiap pertemuan lintas kultural dengan orang-orang baru dari latar budaya berbeda merupakan sumber bahan baku kreativitas yang tak ada habisnya.

Pendapatnya, “Saya pikir, desainer yang baik belajar dari orang lain. Tak harus selalu dari sesama desainer, tapi dari orang-orang yang cerdas yang bersemangat mengejar karir dengan antusiasme yang sama seperti seorang desainer, dan orang-orang yang memecahkan masalah dengan kreatif, meskipun bukan masalah kasat mata.”

Menempatkan Desain Sebagai Bisnis
Sejak 1973, Cato berhasil membawa CPP menjadi raksasa ekspor Australia di dunia desain. Hingga kini, proyek-proyek besarnya sudah meliputi lebih dari 30 negara dengan 200 lebih proyek corporate identity yang melibatkan para ahli terkemuka. Klien-klien internasional CPP antara lain Raffles Hotel Singapore, BenQ di Taiwan, Wellington Airport di Selandia Baru, Aerolinias Argentinas, raksasa konstruksi Jepang C’est La Vie, dan Baiyun Airport di China. Ini merupakan pencapaian besar sebagai buah dari kegigihan Cato sejak awal untuk mengantarkan esain Australia ke kancah dunia.

Salah satu kunci keberhasilan Cato dalam membawa CPP menjadi perusahaan yang disegani klien-kliennya adalah keberanian Cato untuk membuat perusahaannya menjadi bagian dari bisnis, bukan hanya proses marketing. Prinsip ini juga yang mampu mendongkrak BenQ –brand Asia dari Taiwan– menjadi brand global.

Dedikasi Terhadap Desainer Muda
Berangkat dari kecintaannya terhadap dunia desain, pada tahun 1991 Ken Cato menggagas AGIdeas, konferensi tahunan bagi mahasiswa desain di seluruh dunia. Ketika pertama kali diadakan, konferensi ini kurang mendapat dukungan pemerintah Australia. “Saya sering ditanya, apa yang saya dapat dari AGIdeas? Jawabannya sederhana, kepuasan memberi kontribusi kepada generasi desainer selanjutnya,” ungkap Cato mengenai AGIdeas yang berdiri secara tidak sengaja dan kini menjadi penyedia informasi terkuat bagi desainer muda. Setelah menginjak tahun ke-15, AGIdeas mampu menarik lebih dari 100 universitas dan akademi desain dari seluruh dunia. Cato memperkirakan, AGIdeas tahun ini akan diikuti oleh 15-20 negara dan mampu menarik sekitar 2.500 orang tiap harinya selama pekan konferensi berlangsung. Pendaftar pertama berasal dari Abu Dhabi dan Taiwan! Menurut rencana, AGIdeas tahun ini akan mendatangkan 34 pembicara dari berbagai latar belakang pendidikan; bukan hanya dari kalangan desainer grafis, tapi juga desainer produk, desainer fashion, desainer lingkungan, praktisi film, animator, dan para pakar website dan media elektronik. “Apa yang saya coba lakukan adalah merangsang pemikiran desainer generasi muda dengan menghadirkan ke hadapan mereka para praktisi terbaik dari seluruh dunia. Dan, agar mereka mengerti bahwa inspirasi bisa datang dari mana saja,” tuturnya bijak.

Alasan lain atas perhatian khususnya terhadap desainer muda, Cato berterus terang, “Kita punya kekayaan waktu untuk belajar. Punya kesempatan untuk memberikan sesuatu kepada profesi yang sudah memberikan saya kesenangan, merupakan hal yang terus-menerus saya kejar!”

Teknologi Membuat Malas
Kontribusi Cato di bidang desain, ekspor dan pendidikan telah mengubah industri desain Australia dan menjadikan desain sebagai bisnis yang mendunia. Ia telah memenangkan berbagai penghargaan nasional maupun internasional di bidang desain, juga terkenal sebagai pembicara dan penulis. Salah satu bukunya yang terkenal berjudul Design by Thinking terbitan HBI tahun 2000 meraup rekomendasi rating Bintang 4 dari pelanggan website yang menjual buku secara online http://www.amazon.com.

Berkat dedikasinya dalam dunia pendidikan desain, Cato diundang menjadi satu-satunya anggota kehormatan internasional oleh Russian Academy of Graphic Design dan pada tahun 1995 ia menjadi orang pertama yang dianugerahi gelar kehormatan Doctor of Design (Hon.D.Des, red) oleh Swinburne University of Technology, Melbourne. Sepuluh tahun kemudian, Cato didaulat menjadi juri untuk penghargaan The Loerie Awards 2005 di kota resor Margate, KwaZulu-Natal. Loerie Awards adalah penghargaan di bidang periklanan yang sudah dimulai sejak 27 tahun yang lalu di Afrika Selatan. Di tahun yang sama, Cato menjadi pembicara pada International Design Indaba
ke-3 yang diadakan di Johannesburg.

Dalam sebuah seminar di tahun 2004 yang diadakan Klub Regional Advertising & Design di Montego Bay, Jamaica, Cato berbicara mengenai pandangannya yang masih belum berubah, bahwa teknologi membuat manusia menjadi malas. Karena itu ia lantas mendorong para desainer untuk kembali ke teknik dasar menggambar dan melukis dalam berkarya, dan tidak bergantung pada teknologi dalam hal menemukan ide. Bagi Cato, dalam desain grafis, ide dan pemikiran adalah yang paling utama; berikutnya baru layout, kreativitas dan konsep. Bantuan teknologi untuk menyatukan semua keping-keping ide melalui warna, bentuk, garis, scope, kontras, dan kepekatan ditempatkan Cato di bagian akhir.

Cato’s Tips: “It’s not graphic design that will get us jobs, it’s IDEAS!”
“35 tahun memberi Anda kesempatan untuk melakukan banyak kesalahan. Namun waktu selama itu juga memberikan kesempatan untuk bekerja dengan banyak pebisnis handal dan untuk mengerti pilihan-pilihan yang mereka ambil.”

Interview

35 tahun mempengaruhi industri desain sejak 1970 dan tetap bertahan hingga kini merupakan sebuah prestasi! Apa rahasia Anda agar bisa tetap kreatif, produktif dan up to date?

Rasanya seperti belum 35 tahun. Saya cukup beruntung menemukan sebuah profesi yang betul-betul sehati. Tiap hari membawa tantangan yang berbeda, klien yang berbeda, di kota atau negara yang berbeda, jadi selalu ada keberagaman di sana. Layaknya pribadi kreatif manapun, mendapatkan tantangan dan mampu melatih pengalaman dan kemampuan setiap harinya, akan menuntun Anda menuju profesi yang menjanjikan. Saya tidak pernah betul-betul menganggap desain sebagai sebuah pekerjaan dan saya tidak pernah lelah bertukar pengalaman dengan orang-orang menarik atau melewatkan kesempatan memberi masukan tentang suatu masalah. Saya tidak yakin ada rahasia lain yang lebih besar daripada menemukan sesuatu yang Anda cinta untuk dilakukan dan melakukannya dengan tulus.

Pernahkan Anda mengalami situasi di mana Anda merasa buntu dan kekurangan ide cemerlang saat melakukan pekerjaan? Apa yang Anda lakukan dalam situasi demikian?

Seperti kebanyakan orang ketika mencari pemecahan masalah, selalu ada momen ketika Anda bertanya-tanya apakah Anda bisa menemukan jawabannya. Ketika saya berpikir saya telah menemui jalan buntu, saya kembali melihat permasalahannya dan mencoba melihatnya dari perspektif yang berbeda. Sering- kali apa yang kita lakukan dalam pekerjaan kita adalah menceritakan kembali kisah-kisah yang sudah pernah diceritakan. Jadi, menemukan cara pandang dan titik berdiri yang baru merupakan kunci menemukan ekspresi kreatif baru. Ini bukan tentang teknik, melainkan tentang ide dan bagaimana mengubah posisi Anda sehingga Anda melihat pekerjaan Anda secara berbeda.

Kondisi perusahaan Anda (Cato’s Design) 30 tahun yang lalu tentunya berbeda dari Cato Purnell Partners sekarang. Ketika Anda mengembangkan perusahaan, menurut Anda, manakah yang lebih penting: sisi kreatif atau sisi manajerial?

Tentunya banyak hal yang berkembang seiring waktu. Kita pernah mengalami masa mulai dari zaman gambar tangan hingga ke era elektronik dan digital. Seperti kebanyakan desainer yang sezaman dengan saya, saya juga tergolong lambat ketika berhadapan dengan teknologi. Saya mencoba mengerti bagaimana caranya teknologi bisa membuat hal-hal menjadi lebih baik. Saya pikir, kita hidup dalam jaman yang menarik. Masih ada campuran antara orang-orang yang dibesarkan dengan cara yang lebih tradisional, dan mereka yang dibesarkan dengan kemampuan keyboard yang hebat.

Tantangan bagi kita lebih dalam urusan bagaimana memproses informasi dibanding menciptakannya. Komputer memungkinkan kita melihat ragam pilihan yang di masa lampau akan memakan waktu harian, bahkan mingguan, untuk dilakukan. Kita bisa lihat karya-karya seni diproduksi hingga tak menyadari betapa banyak waktu yang dibutuhkan untuk membuatnya tanpa komputer.

Di sisi lain, kita juga telah melihat perubahan fungsi desain. Bagaimana desain kini dilihat dalam hubungannya dengan dunia bisnis. Tentu, memang selalu begitu, tetapi kini lebih banyak pebisnis yang mengerti bagaimana menggunakannya dan membangun brand perusahaan dan produk sekaligus. Kita juga pernah hidup di era ketika desainer telah mendapat status di dunia bisnis. Kita bisa lihat, sekarang banyak desainer menjadi anggota direksi atau berada di posisi manajemen senior, lebih karena fakta bahwa perusahaan mengerti peran dunia desain dalam bisnis.

Untuk urusan mana yang lebih penting, baik sisi kreatif maupun sisi manajerial sama-sama penting. Perusahaan desain terbaik memiliki keduanya, dan saling mendukung satu sama lain.

BenQ adalan brand Asia yang dimulai dari keinginan untuk tidak jadi OEM terus-menerus, dan strategi branding yang diperoleh (dari interaksi antara Cato Purnell & Partners sebagai konsultan dan BenQ sebagai klien) sudah menjadi katalisator bagi BenQ dalam perkembangannya untuk menjadi brand global. Apa kunci sukses Anda ketika menciptakan brand identity BenQ?

Dari dulu hingga kini kami cukup beruntung mendapati perusahaan yang punya ambisi serius dan mengerti bahwa desain akan membantu mereka meraih ambisinya. BenQ adalah salah satu perusahaan seperti itu. Banyak perusahaan Asia menyimpan kehati-hatian dalam hal kontribusi desain. BenQ bukan salah satunya. Kami menghargai hubungan dengan perusahaan dimana kami punya kesempatan menjadi bagian dari bisnisnya, bukan hanya proses marketing.

Menyaksikan karya Anda untuk World Central dan Baiyun, sangat tampak bahwa Anda memiliki kemampuan hebat dalam memahami budaya lokal, termasuk dalam membuat elemen budaya lokal sebagai inspirasi untuk menghasilkan karya komunikasi visual yang efektif dan bagus. Sebagai desainer dengan latar belakang budaya Barat, bagaimana Anda mengembangkan sensitivitas terhadap budaya Timur?

Wah, saya tersanjung bila Anda berpikir bahwa saya memiliki pemahaman tentang budaya lokal. Setelah 30 tahun lebih bekerja di Asia dan beberapa bagian dunia lainnya, satu hal yang saya pelajari adalah sesungguhnya tidak ada perbedaan. Cuma orang bodoh yang mengabaikan hal itu.

Kebanyakan orang berpikir, setelah 4 atau 5 tahun (hidup dalam sebuah budaya, red), Anda merasa telah mengerti, tetapi sebetulnya semakin lama saya hidup di dalamnya, hanya sedikit saja yang saya tahu. Tapi saya punya keinginan untuk mempelajari dan mengerti tentang perbedaan budaya lewat klien dan orang-orang yang saya temui. Sering kali pertemuan-pertemuan lintas kultural seperti itu menyediakan banyak bahan baku kreativitas, satu hal yang menuntun kita menemukan sudut pandang atau cara yang berbeda dalam melihat banyak hal. Saya lihat ini sebagai salah satu aspek paling menggairahkan dalam dunia bisnis saat ini. Saya selalu mencari partner baru di negara baru, tidak hanya untuk mengembangkan bisnis saya dan melakukan lebih banyak komunikasi lintas kultural, tapi juga sebagai salah satu cara untuk mempelajari orang lain dan sudut pandang mereka.

Dalam pasar global yang makin kompetitif, Asia (dalam hal ini China, Korea, Taiwan, Singapura, Malaysia dan negara-negara lainnya) mulai menciptakan brand baru sebagai tantangan bagi brand dari Barat dan Jepang yang sudah terlebih dulu ada. Indonesia sangat lamban menangkap konsep modern branding. Adakah tips, bagaimana agar Indonesia bisa mengejar ketertinggalan ini?

Mengesankan bahwa di kebanyakan negara di mana saya pernah bekerja atau bicara, terdapat persepsi bahwa orang lain selalu tampak lebih maju. Dalam beberapa kasus, ini bisa jadi benar. Dalam kasus lainnya, masalahnya cuma urusan publisitas saja—siapa yang sedang bicara. Saya pikir, jika kita lihat branding dalam konteks internasional, kita bisa mengenali brand mana yang mengerti bagaimana peran desain. Bukan berarti semua yang bekerja dalam perusahaan itu mengerti, tapi ada seseorang di dalam perusahaan yang pada satu titik mengerti tentang itu dan menjadikannya bagian dari lingkungan.

Saat ini, pasar bagi kebanyakan kita dimengerti sebagai tempat global, dan satu hal yang harus dimengerti dunia bisnis adalah bahwa pasar tanpa desain, tanpa identitas, tanpa struktur brand dan interpretasi visual, tidak mungkin bersaing. Kita semua tahu brand yang kita sukai; kita mengenalinya dengan cepat, dan itu biasanya melalui komponen visual.

Teknologi digital telah memberi pengaruh besar terhadap pola aktivitas manusia, khususnya terhadap generasi muda. Kini terdapat banyak alternatif untuk mendapatkan informasi, hiburan, film, belanja dan sosialisasi. Menurut Anda, bagaimana sebuah brand bisa diadaptasikan, dimaksimalkan, dan tetap relevan di abad ini yang bergulir maju demikian cepat?

Ini merupakan pertanyaan yang sangat menarik, dan jawabannya bisa berlembar-lembar artikel. Topik ini merupakan hal yang telah berhasil membuat perusahaan kami melakukan banyak cara dalam realisasi pekerjaan kami. Proses mendapatkan informasi kini semakin mudah dan waktu yang dibutuhkan untuk memahami informasi menjadi semakin singkat. Hanya yang relevan dan menonjol saja yang akan menarik perhatian kita. Bagaimana menjaga agar brand tetap segar dan menarik, menjadi tantangan tersendiri bagi para desainer. Berapa lama kita bisa mempertahankan ketertarikan orang terhadap pesan kita? Ini adalah tantangan bagi semua perusahaan. Kita tak cuma harus menarik perhatian, tapi juga harus mampu mempertahankannya. Sekarang ini perusahaan-perusahaan tidak menganggarkan dana yang cukup besar untuk urusan komunikasi. Maka yang menjadi penting adalah kemampuan perusahaan untuk mengerti bahwa perusahaan punya banyak sumber untuk dikomunikasikan, dan bagaimana menemukan cara untuk menghubungkan sumber-sumber ini dengan peningkatan brand building dengan dana marketing. Setiap komponen visual dan verbal di dalam perusahaan memiliki peran, tapi harus tetap menjadi bagian dari master plan.

Bagaimana Anda melihat diri Anda sendiri? Seorang Desainer Grafis atau seorang Creative Director?

Saya tidak pernah suka dengan kata ‘desainer grafis’. Kesannya membatasi. Saya selalu melihat diri saya sebagai seorang desainer (saja, red). Dan apa yang dimaksud desain dalam konteks itu? Saya selalu melihat diri saya sebagai seorang problem solver, pemecah masalah, yang kebetulan memiliki kemampuan visual. Apapun terminologinya, itu tidak penting, karena it’s all about work. Tapi saya pikir, saya nyaman dengan kata ‘desainer’.

Pertanyaan personal, apa yang paling Anda sukai dari Melbourne?

Mendapat banyak kesempatan hidup di beberapa bagian dunia dan fakta bahwa saya tidak dilahirkan di Melbourne, membuat saya menjadi sedikit lebih objektif, meski harus diakui, karena saya pernah tinggal sangat lama di kota ini saya juga pernah tiba pada suatu titik yang membuat objektivitas saya terhadap kota ini terlempar ke luar jendela. Saya suka Melbourne dengan segala keberagamannya. Dan yang paling penting adalah semangat bersama untuk melakukan hal yang benar dan baik. Melbourne bukanlah kota yang bisa Anda mengerti dalam waktu singkat dan bukan pula kota yang harus selalu jadi nomor satu. Di mata saya, apapun yang kota Melbourne lakukan, itu dilakukannya dengan cara yang benar dan semestinya. Kualitas inilah yang saya cintai.

Sebagai penutup, adakah pesan khusus untuk pembaca Concept?

Sebagai desainer, gunakan waktu untuk mempelajari peran kita dan kaitkan itu dengan bisnis. Tentunya, sebagai sebuah profesi kita harus selalu mencari tahu bagaimana cara membuat hal-hal agar menjadi tampak lebih baik. Namun, kini ada kebutuhan nyata untuk menjadikan hal-hal tersebut berfungsi lebih baik, dan menyadari bahwa pebisnis sukses tak akan menemukan potensi mereka tanpa bantuan seorang desainer. (sussy/djoko)


Calvin Ho
Menyelipkan Arti Dalam Keindahan

Tak betah berada di suatu tempat dalam jangka waktu lama, membuat Calvin memiliki banyak pengalaman hidup. Fashion dan Musik adalah faktor yang memberi pengaruh besar dalam karya-karyanya…

Calvin Ho lahir di Hong Kong dan berimigrasi ke Australia ketika ia masih berumur 5 tahun. Desainer muda berbakat ini menjalani studinya di Newcastle University, Australia, sebelum meraih gelar diplomanya dari Billy Blue School of Graphic Arts, Sydney.

Mencari Keseimbangan dalam Musik
Sejak kecil Calvin sudah memiliki keinginan besar untuk masuk ke dunia desain fashion. Ia seringkali membuka-buka majalah fashion dan menyontoh ilustrasi-ilustrasi busana yang ada di dalamnya. Kebiasaannya adalah membawa buku sketch ke mana-mana dan bermimpi untuk membuat layout, ilustrasi dan fotografi untuk majalah fashion. Keinginan terpendamnya kini jadi kenyataan. Ia sekarang banyak mendesain untuk majalah fashion.

Bukan hanya dunia desain fashion yang ia tekuni. Calvin juga ternyata seorang pecinta musik. Ia bahkan menggeluti profesi Disc Jockey (DJ). Seperti katanya, “A perfect balance… Jika saya jenuh dengan pekerjaan mendesain, saya akan lari ke musik.” Erasure, Sugarcubes, Age of Chance, dan Designers Republic adalah artis-artis musik tahun 1986-1990 yang mula-mula memberikan pengaruh ke dalam kehidupannya sebagai seorang desainer dan DJ.

Style Lahir dari Pengalaman Hidup
Dalam mendesain, Calvin tidak merasa memiliki suatu style yang khusus. Ia selalu mencoba untuk menciptakan suatu style lalu mengembangkannya. “Memiliki style khusus menurut saya malah membatasi kreativitas. Kuncinya sebenarnya adalah bagaimana mengeksplorasi segala aspek yang ada di dalam hidup. Saya tidak suka diam di suatu posisi terlalu lama. Jika saya harus membuat defenisi tentang style saya, maka saya akan berkata bahwa style saya adalah segala sesuatu yang sudah saya alami, apakah itu dari dunia musik, fashion, grafis, dan semua yang lainnya. Style saya adalah ‘sesuatu yang dapat memberi arti.’ Pesan dapat terlihat di dalam karya saya. Karya saya bukan hanya suatu karya yang indah!  ungkapnya panjang lebar dan lalu menyambung, “Desain lahir dari sesuatu yang terjadi berulang-ulang.”

Calvin mendirikan Atomicattack! tahun 1996 dan lambat-laun klien-kliennya berkembang bukan hanya di Hong Kong, tapi sampai ke Jepang, Amerika, dan Eropa. Karya-karya Calvin juga beredar lewat majalah-majalah seperti Romantik, Pictoplasma, Neomu, Victionary, dan idN. Calvin juga menulis di http://www.k10k.net dan di website Jepang, Shift. Selain dalam Concept kali ini, karya-karya Calvin dapat Anda lihat di web-nya http://www.atomicattack.com. (fifi)


Afterhours Group
Dimulai Seorang Diri

Sepulang kerja atau after office hour, Brahm mengerjakan job-job-nya di kamar tidur. Tak pernah terbayangkan olehnya, aktivitas freelance tersebut bisa tumbuh kembang menjadi perusahaan sebesar sekarang. Agar dapat selalu mengenang hal itu, usahanya dinamai Afterhours…

Gara-gara Komputer
Jika dikilas balik, tak seorangpun yang dapat menduga kalau Lans Brahmantyo akan mendirikan studio desain. Saat remaja, Brahm pernah berprestasi sebagai atlit nasional yunior di cabang tenis. Kala itu, profesi tersebut belum begitu menjanjikan. Brahm lalu memilih berkonsentrasi penuh pada pendidikannya, hingga meraih gelar B.Sc. di bidang Teknik Elektro sekaligus gelar MBA di bidang Management Information System dari University of Denver, tahun 1992 (Pilihannya ini bergeser dari cita-cita awal, menjadi Arsitek, dengan alasan sudah terlalu banyak Arsitek dalam keluarga besarnya, red). Begitu lulus, Brahm bergabung dengan tim kerja Steve Jobs di NeXT Computer Inc. sebagai Campus Consultant yang bertanggung jawab dalam hal konsultasi dan instalasi platform NeXTSTEP OS, di setiap institusi pendidikan tingkat universitas untuk kawasan metropolitan Denver. Di sana, Brahm mengenal berbagai aspek estetika desain, selama membantu profesornya mendesain makalah riset dan buku laporan teknis. Dari proses ‘learning by doing’ itulah, Brahm mulai mengerti ragam style desain grafis, pernak-pernik dan kompleksitas aspek pre-press hingga proses cetak. “Bila dunia desain grafis belum computerized/digitalized, bisa jadi saya tak akan pernah tertarik untuk berkecimpung di dalamnya,” aku Brahm jujur.

Selanjutnya, Brahm berpartner dengan Todd Steigerwald membangun Q• Image & Advertising di tahun 1992 untuk menjajal dunia desain komersil dengan pangsa pasar para software developer yang berbasis NeXTSTEP seperti i.link GmbH, Unter Ecker Systeme, Alembic Systems International, Arés Software France maupun yang berbasis IBM AS-400 seperti Paragon Data Systems, Hewlett-Packard dan University of Denver Business School. Karena masih memiliki waktu luang, Brahm coba-coba mengambil program komunikasi visual di Colorado Institute of Arts, namun hanya bertahan satu semester karena merasa tak menemui hal-hal baru yang menantang dari segi teknologi dan proses kerja.

Pada saat Amerika memasuki masa resesi di tahun 1994, platform NeXTSTEP juga tak mengalami kemajuan yang berarti (meskipun teknologinya sangat mutakhir), sehingga perusahaan software satu-persatu tutup buku. Sebaliknya, ekonomi di Indonesia justru sedang booming. Di tahun itu pula Fedra Carina (adik bungsu Brahm) menyusul ke Denver untuk kuliah, dan memilih jurusan komunikasi visual. Fedra jugalah yang menyarankan Brahm kembali ke Jakarta, karena menurutnya bisnis desain di sini tengah berkembang pesat. Berbekal sebuah Apple PowerMac 8100 dengan monitor 21 inch dan sebuah Apple LaserWriter yang dibelinya dari hasil menabung selama di Q•, Brahm memboyong keluarga barunya ke Indonesia.

Berawal dari Kamar Tidur
Di Jakarta, Brahm bekerja di Satukata Advertising sembari mengerjakan freelance jobs bagi beberapa perusahaan public relations seperti Indo-Pacific, Burson-Marsteller dan Inke Maris. Job-job tersebut dikerjakan sesudah jam kerja, di dalam kamar tidur yang hingga kini dipertahankan sebagai ruang kerjanya (Kantor Afterhours dulunya rumah keluarga yang dihuni Brahm bersama orangtua dan kedua adiknya, red). Dari situlah lahir nama Afterhours. Seperti usaha lain, Afterhours juga dimulai dari bawah. Brahm mengungkapkan, “Setelah berada di luar Indonesia selama hampir 10 tahun, kembali tanpa embel-embel gelar desain satupun, kurangnya pemahaman akan situasi bisnis di Indonesia, hingga bagaimana cara membangun networking dan meyakinkan prospek jadi kendala tersendiri buat saya.” Namun berkat portfolio yang baik yang menghasilkan referral dari mulut ke mulut, Afterhours lambat laun berkembang.

Proyek pertama yang dikerjakan Afterhours adalah company profile Niaga Cigna, melalui Indo-Pacific PR. Sesudahnya, seiring dengan menjamurnya IPO di penghujung ‘Economic Boom,’ Afterhours mengerjakan banyak annual reports. Kala itu, hanya dibantu seorang asisten, Brahm menghasilkan 12 annual reports dalam setahun. Proyek yang dikerjakan tanpa kenal siang dan malam itu antara lain untuk Argha Karya, Intinusa Selareksa, Makindo Securities, Alter Abadi, Bank Umum Servitia dan Branta Mulia. Afterhours kemudian dipercayai mengerjakan coffee-table books untuk memperingati 40 tahun Pertamina, “Dari Puing-Puing ke Masa Depan” dan juga buku “30 Tahun Elnusa.”

Semakin Menjulang dan Rimbun
Tepat 1 Januari 1997, Afterhours secara legal akhirnya tercatat sebagai perusahaan. Di tahun yang sama, Antaresa Hendita (adik tengah Brahm, red), bergabung untuk mengagresifkan marketing Afterhours. Job pun melimpah. Bahkan selama krisis ekonomi melanda Indonesia di tahun 1998, Afterhours berkembang secara eksponensial dan menjadi satu-satunya graphic design house yang berani memasang drum scanner high-end Heidelberg Tango demi memenuhi kebutuhan akan hasil scan yang cepat dan berkualitas. Investasi besar tersebut ternyata semakin meningkatkan pendapatan, karena beberapa biro prepress, fotografer maupun graphic design house lainnya, ikut membeli jasa drum scanner tersebut. Brahm lalu mendirikan The ScanStation, divisi yang memberi servis high-end drum scanning, Piezography, digital imaging dan fine-art piezoprinting untuk para fotografer kawakan yang membutuhkan jasa cetak foto dengan hasil prima. Meskipun volumenya akhir-akhir ini mengecil karena imbas fotografi digital, drum scanner masih sangat berguna bagi pemuja fotografi analog.

Tahun 2000, Afterhours mendapatkan lisensi dari Worldsites Network, sebuah perusahaan global yang bergerak di bidang internet business strategy yang berbasis di Toronto, Canada.

Tahun 2003, Afterhours Denver (AD) berdiri di bawah kendali Fedra Carina, yang memutuskan untuk menetap di Amerika. AD berkembang cukup pesat dan berhasil merangkul Starz Entertainment Group, Atlas Air, Cox Communications, National Printing, University of Denver, ReMax Realty, Copperleaf Homes dan Zimmer & Associates. Demikian halnya dengan Afterhours lokal, yang daftar kliennya semakin panjang, solid serta memberikan proyek-proyek secara kontinyu. Klien-klien tersebut, diantaranya Citibank, Bank Mandiri, BCA, BNI, DBS Bank, ABN Amro Bank, Austindo Group, Pfizer, Unicef, Frisian Food, Schroder Indonesia, ANJ Finance dan Astra CMG. Afterhours memang cukup fokus di bidang finance dan banking. Pilihan area ini sangat melancarkan perjalanan cash flow perusahaan, karena kegiatan promosional yang aktif dan dinamis di dalamnya. Sementara Afterhours Denver memilih meningkatkan konsentrasi di bidang corporate branding dan properti. Hal ini menjadi komplemen yang tepat dalam menjaga sinergi saling bantu antara Afterhours Denver dan Jakarta. Di samping corporate branding, packaging, multimedia presentation, web design dan corporate collaterals (company profile, annual reports, newsletters), Afterhours kemudian merambah hingga marketing collaterals (direct mail piece, news, catalogs, dan lain-lain).

Di tahun 2004, Lightbox Indonesia didirikan untuk menjadi ‘second-liner’ dari Afterhours Jakarta dan kini berkembang tak kalah pesat, dengan BCA sebagai klien utama.

Meskipun terbilang sangat jarang mengikuti kompetisi desain karena menghindari lomba yang memungut biaya kompetisi, cukup banyak karya Afterhours meraih penghargaan di dalam dan luar negeri, termasuk dimuat di berbagai buku desain, diantaranya terbitan Rockport Publishing.

Gara-gara Lukisan
Di samping job-job yang kita bahas tadi, Afterhours juga menerbitkan buku. Awalnya, tanpa sengaja di tahun 1999, Brahm yang diajak seorang teman mampir di kediaman pelukis Van Der Sterren tiba-tiba tertarik dengan lukisan. Belanja lukisan pun jadi hobby barunya. Hobby ini kemudian mengantarnya pada proyek buku, berpartnership dengan beberapa pihak di Hexart Publishing. Kerjasama ini telah membuahkan beberapa buku seni seperti ‘Vibrant’ Arie Smit, ‘A Tropical Journey’ Van Der Sterren.

Segera menyusul buku-buku Auke Sonnega, Antonio Blanco dan Theo Meier. Selain Hexart, juga ada Red & White Publishing yang buku terbitannya lebih bersifat general topics namun prestisius, seperti buku ‘Rumah Bangsa’ yang menjadi official presidential gift bagi tamu-tamu negara, ‘A Walk in the Clouds’ George Tahija, ‘Viewpoints’ Sigit Pramono, ‘Soul Odyssey’ Lans Brahmantyo, seri ‘Land of Water: Exploring Indonesia by Sea’ Paul Dean,‘ serta tiga yang baru akan diluncurkan, ‘Bisikan Alam,’ ‘Dari Praha ke Progo,’ maupun ‘The Touch’ karya Oscar Motuloh.

Gara-gara Kamrea Digital
Setelah mengenal lukisan, terakhir Brahm berkenalan dan jatuh cinta pada fotografi. Brahm sebenarnya sudah tertarik dengan fotografi sejak masih remaja, namun rumitnya analog fotografi membuatnya malas dan urung menekuninya. Ketertarikannya baru muncul kembali saat digital photography hadir di Indonesia. Bisa dibilang, tanpa digital photography, ia mungkin tak akan melirik kamera lagi (sejarah berulang persis kasus ketertarikannya pada desain karena  komputer, red). Diawali saat berlibur ke Eropa tahun 2001, Brahm membeli kamera SLR digital Canon EOS-1D untuk merekam perjalanannya. Dari kamera itulah Brahm mengenal teknik fotografi secara otodidak, karena fitur-fiturnya yang memudahkan dan instant. Brahm lantas rajin memotret objek turisme dan tertarik pada foto jurnalis yang bersifat human interest. Setelah kegiatan memotret membiusnya, Brahm akhirnya tak mampu menolak daya tarik kamera analog. Sekarang ia lebih sering menggunakan kamera Rangefinder analog Leica M dan lebih senang menggunakan film black & white. Brahm mulai switch ke kamera Leica semenjak mendesain buku ‘Jelajah Mata Hati’ yang memuat karya-karya Aryono Huboyo Djati, pengarang lagu ‘Burung Camar-’nya Vina Panduwinata.

Tahun 2005 lalu, Brahm akhirnya menerbitkan “Soul Odyssey,” buku  yang bercerita tentang perjalanan batin, lewat foto-foto yang diambil selama ia menjelajahi Mesir, Israel dan Yordania. Buku ini menjadi buku pertama fotografer Asia yang di-endorse oleh Leica Camera GmbH yang terkenal sulit didapat, sehingga menjadi
kebanggaan tersendiri bagi Brahm. Kebetulan jenis foto travel journalism yang ‘bercerita’ seperti ini sangat diapresiasi oleh penggemar seni fotografi di luar Indonesia, sehingga penjualannya lebih banyak ke luar negeri, melalui internet. Kembali ke Afterhours, serupa dengan kisah lukisan, hobby ini juga yang kemudian menarik proyek buku fotografi. Kadang, Brahm juga menerima order pemotretan komersial, jika diperlukan Afterhours.

Working Smart
…adalah cara Afterhours bekerja. “Hal itu berkaitan erat dengan bagaimana dapat mengerti apa yang dibutuhkan oleh klien. Misalnya, menjadi pendengar yang baik – agar mengerti secara detail alat-alat kerja – h

Leave a comment