CONCEPT EDISI 11
PILIH KUANTITAS ATAU KUALITAS
Pendidikan Desain Komunikasi Visual (DKV) tengah populer. Banyak institusi membuka program studi DKV dan berlomba-lomba menarik minat calon mahasiswa (plus minat calon dosennya). Antusiasme untuk mengenyam pendidikan DKV, antara lain bisa dilihat dari catatan Institut Teknologi Bandung (ITB) yang hanya menerima 60 mahasiswa untuk angkatan 2004, padahal jumlah pendaftar mencapai 1.327 orang!
Sepuluh tahun silam, di Indonesia hanya ada sekitar 5 perguruan tinggi yang menawarkan program studi DKV, yakni: Institut Teknologi Bandung (ITB), Bandung; Institut Seni Indonesia (ISI), Yogyakarta; Universitas Trisakti, Jakarta; Universitas Tarumanegara, Jakarta; dan Universitas Pasundan, Bandung. Kini, berdasarkan data Dikti (Pendidikan Tinggi) April 2006, terdapat 48 institusi yang menawarkan pendidikan DKV berbagai strata, mulai D1 hingga S1. Tercatat juga nama 8.510 mahasiswa DKV aktif di seluruh Indonesia. Jumlah tersebut bukan angka sesungguhnya, mengingat dalam daftar yang dimuat Direktorat Akademik Dikti di alamat http:// evaluasi.or.id, dari 48 institusi, 9 diantaranya belum memasukkan jumlah total mahasiswa mereka. Ditambah lagi ternyata ada beberapa perguruan tinggi yang belum terdaftar, misalnya Universitas Negeri Padang, yang telah membuka program studi DKV sejak 2 tahun lalu. Salah seorang narasumber Concept, Hastjarjo B. Wibowo, dalam pidato pembukaan Kongres Adgi belum lama ini bahkan menyatakan estimasinya, bahwa angka riil mahasiswa DKV di seluruh Indonesia kira-kira berkisar hingga 20.000 orang. Wow!
Timbul pertanyaan: apakah industri desain Indonesia membutuhkan desainer sebanyak itu? Sebagai contoh, industri periklanan sebagai salah satu sektor yang menyerap tenaga kerja desainer siap pakai, ternyata baru memiliki 422 perusahaan yang terdaftar sebagai anggota maupun calon anggota Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI). Dari minimnya jumlah pengguna jasa ini, sudah bisa tercium aroma tak sedap pengangguran lulusan DKV…
Separah itukah kondisi pendidikan DKV kita? Bagaimana pendapat mereka yang berkecimpung di dalamnya?
Siti Turmini Kusniah, R. Z.
Pembantu Dekan Bidang Akademik DKV IKJ
Mahasiswa Drop-In
Yang terjadi di DKV IKJ (Institut Kesenian Jakarta), interaksi mahasiswanya bersifat saling mengisi dengan fakultas lain, seperti film, teater, maupun tari. Tak mengherankan jika lulusan DKV-nya ada yang bekerja di bidang lain. “Karena latar belakang lingkungan yang berinteraksi dengan fakultas lain itulah yang menjadikannya spesifik, sehingga mereka peka terhadap bidang yang lain tersebut,” jelas Mini.
Dengan tenaga dosen 25 orang, DKV IKJ menerima 100 – 120 mahasiswa per tahun. Namun dari jumlah itu, ternyata rata-rata kelulusan per tahun hanya 40 – 50 mahasiswa. Mini (50) mengungkap, “Kecenderungan yang terjadi di sini ‘tuh drop-in, bukan drop-out. Drop-in dalam arti putus kuliah bukan karena mereka tidak bisa bekerja, melainkan justru sudah mendapat kerja, dan suatu saat mereka kembali untuk melanjutkan kuliah. Itu banyak terjadi.” Dengan kata lain, kemungkinan lulusan DKV IKJ menganggur terbilang minim, walau fokus kerjanya tak lagi sesuai latar belakang pendidikan.
Ardian Elkana
Chairman Avigra & pendiri Cybermedia College
Langkanya Lulusan yang Berkualitas
Kalangan praktisi industri desain kerap kali mengeluhkan sulitnya mencari desainer berkualitas di antara seabrek output mahasiswa setiap tahunnya. Beberapa praktisi bahkan memutuskan untuk mendirikan institusi pendidikan desain sendiri dengan kurikulum yang mengacu pada kebutuhan industri. Digital Studio (DS) dan Cybermedia College (CC) adalah dua diantaranya. Ardian (43) menjelaskan, setiap tahun ada sekitar 120 siswa di CC, tapi yang lulus rata-rata hanya beberapa puluh. Menurutnya, hal ini umum terjadi, bahkan di Universitas Petra Surabaya yang satu angkatan mahasiwanya mencapai 200 orang. “Jadi kalau dikatakan kita over supply lulusan mahasiswa DKV, saya tidak melihat itu, karena kami dari kalangan industri merasa sulit mencari lulusan yang berkualitas,” keluhnya. Berarti bisa dibilang, institusi baru belum juga menjawab kebutuhan industri akan lulusan yang berkualitas. Kalau begitu, apa yang salah?
Muchyar
Staf Pengajar Untar
Mana Desainer Profesional?
Mana Desainer Amatir?
Muchyar melihat perkembangan institusi pendidikan DKV yang tumbuh pesat secara kuantitatif sebagai hal yang (sebetulnya) menggembirakan. Selain dari Fakultas Seni Rupa, sekarang ada pula DKV yang tumbuh dari Fakultas Ilmu Komunikasi, bahkan Informatika. “Belum lagi yang low end, misalnya kursus-kursus Pagemaker yang cuma 3 bulan sampai 1 tahun. Lulus dari situ siswanya sudah merasa menjadi desainer grafis,” keluhnya. Meski demikian, Muchyar tak menampik bahwa perkembangan ini juga menimbulkan masalah, terutama bagi industri desain sendiri. “Sekarang ini jadi susah membedakan mana desainer yang profesional, mana yang tidak profesional,” ungkapnya. Menurutnya, profesional atau tidaknya seorang desainer baru tampak setelah kelulusannya. Yakni kualitas kiprahnya, kualitas kerjanya, tingkat kreativitasnya, analisisnya, hingga bagaimana dia mampu memecahkan masalah yang diberikan klien. Muchyar meramalkan, ke depan kualitas profesionalisme akan dipersepsikan secara relatif, sementara pasar sendiri belum paham mana yang profesional dan mana yang amatir. Terbukti, kita lazim melihat desain bisa dijual sangat murah, tapi juga bisa dengan harga yang pantas.
Kembali pada kualitas pendidikan, Muchyar pun mengakui bahwa pendidikan desain memang belum merespon kebutuhan industri dan kebutuhan akan kualitas lulusan. “Mungkin sudah, tapi belum optimal,” ralatnya. Karena itu, ia berpendapat bahwa sebetulnya harus dipikirkan adanya peminatan atau spesialisasi, karena bidang DKV itu luas sekali. Mulai dari desain grafis, web desain, branding, ilustrasi, hingga komik. Dalam pengamatannya, sistem pendidikan saat ini menghasilkan lulusan yang tahu banyak tapi sedikit-sedikit, sementara industri membutuhkan orang dengan spesialisasi yang memahami problem secara spesifik.
Priyanto Sunarto
Dosen Senior DKV ITB
Indonesia Lebih Butuh Lulusan D3
Ketika berbincang-bincang dengan Priyanto (59), ia menegaskan bahwa sebetulnya saat ini industri desain Indonesia lebih membutuhkan lulusan D3 dibanding S1. Karenanya ia ingin ada penambahan institusi pendidikan yang khusus menghasilkan lulusan D3. Setelah mendirikan DKV IKJ bersama alm. S. Prinka pada tahun 1977, ia pernah terlibat di D3 DKV Universitas Widyatama dan Poliseni Yogyakarta (2001). Priyanto menyatakan bahwa ambisinya yang hingga kini belum tercapai adalah mendirikan D3 Ilustrasi, karena illustrator saat ini memang sangat dibutuhkan.
Mengenai timpangnya jumlah dosen dan mahasiswa DKV, Priyanto menuturkan bahwa menurut hasil diskusi antar pendidik kesenian di Bali awal tahun ini, rasio ideal agar proses belajar-mengajar di ruang kuliah DKV berjalan efektif adalah 1:15, berbeda dengan seni murni yang rasionya 1:5. Perhitungan rasio ini baru sebatas wacana, belum merupakan ketentuan Dikti. Di kelas harus dibiasakan agar ada dua dosen pengajar sekaligus. Di ITB sendiri saat ini jumlah mahasiswa DKV per angkatannya 60 orang. Karena kurangnya fasilitas, tahun depan akan dikurangi jadi hanya 45 orang, yang kemudian akan dibagi dalam 3 kelas di semester 6. Namun Priyanto mengungkap, sebetulnya dari rata-rata sekitar 1200 mahasiswa yang mendaftar ke DKV ITB, 180 orang diantaranya layak lolos. Hanya saja, terbatasnya ruang kelas membuat pihak ITB terpaksa menolak sekitar 135 bakat. “Sebetulnya kita ingin belajar dari Petra atau UPH, bagaimana mengajar kelas besar,” harapnya.
Iwan Ramelan
Desainer Senior, Komisaris Adwi Cipta Design
Calon Mahasiswa Desain Ideal
Iwan (65) menilai kondisi pendidikan DKV Indonesia yang sedang terjadi saat ini sebagai dilema. Karena di satu sisi, jika hendak mementingkan kualitas, maka jumlah mahasiswanya sedikit dan berimbas pada pemasukan. Sementara jika mementingkan kualitas, bagi dosennya sendiri timbul pertanyaan: bagaimana mengajar desain untuk 40-50 mahasiswa? Kurang lebih sama dengan rasio Priyanto, menurut Iwan, seorang dosen akan efektif bila mengajar 5-6 siswa secara intensif. “Kurangnya SDM pengajar yang berkualitas juga terkait langsung dengan dilema ini,” imbuhnya.
Mengenai kualitas mahasiswa, pendapat Iwan, idealnya calon mahasiswa desain adalah orang yang memiliki wawasan yang luas, cara berpikir yang cerdik dan tajam, mampu mendekati permasalahan, punya rasa syukur, bercita rasa seni tinggi, menyadari keberadaannya dalam masyarakat, peka terhadap masalah dalam masyarakat, dan mampu melahirkan gagasan yang mungkin tak hebat tapi unik! Satu lagi, tambah Iwan, yakni kemampuan untuk mengerti komunikasi. Iwan memberi contoh, “Kalau desain produk kursi jelek, paling-paling kursinya patah. Tapi kalau komunikasi yang disampaikan lewat gambar pesannya tak jelas atau keliru, tentu akan menyesatkan. Begitu juga jika menyajikan gambar jelek, selera yang melihatnya lama-kelamaan akan ikut jelek.”
Sumbo Tinarbuko
Dosen DKV ISI Yogyakarta
Konsep “Have The End in Mind”
Dalam pandangan Sumbo (40), selama ini DKV kita banyak berkiblat pada pendidikan desain versi Bauhaus. Tapi ia menyayangkan, dalam perkembangannya hanya mencontoh sistem pendidikan dasar secara harafiah dan kaku, tapi melupakan peran Bauhaus sebagai laboratorium desain yang dinamis. Ia pun merinci, di kampus Bauhaus mahasiswa didorong melakukan eksplorasi, menemukan sesuatu (discover and invent) dan kemudian menuliskan temuan-temuannya. Mahasiwa juga didorong melakukan evaluasi, mencari dasar pembenaran, memberikan kritik positif dan negatif terhadap karya-karya sejarah. Tugas dosen hanya sebagai katalisator, memberikan studi banding atas materi-materi atau memberikan apresiasi dari sudut pandang lain.
Sumbo pun menganjurkan, sudah saatnya sistem pendidikan DKV mengedepankan konsep “have the end in mind”, yakni membayangkan pengetahuan dan kemampuan apa yang harus dimiliki oleh mahasiswa lulusan desain komunikasi visual. Teori-teori dan pelatihan apa saja yang nanti dapat diaplikasikan agar mereka bisa bekerja dan berkarya. “Semuanya harus dikonfirmasikan, disinergikan dan dikomunikasikan kepada para pihak yang berkompeten di industri DKV, dan diupayakan untuk diupdate setiap tahun. Setelah semuanya siap, kristalisasi dari konsep “Have the end in mind” itu direncanakan dan diejawantahkan dalam berbagai teori yang signifikan, untuk diajarkan kepada para peserta didik,” paparnya.
Lebih jauh diungkap Sumbo, bahwa konsep semacam itu dalam perkembangannya lebih mengutamakan kurikulum yang mengedepankan local color, karena masing-masing perguruan tinggi punya keunggulan berbeda. Hal ini harus tetap dipertahankan untuk menumbuhkan keberagaman sudut pandang dan outcome dari masing-masing perguruan tinggi DKV. Setelah itu direncanakan teori dan pelajaran setiap semester. Barulah menyusul bahan dan substansi setiap pelajaran, cara pengajaran, dan kuantitas serta kualitas pengajarnya. Perlu pula dilakukan persamaan pandangan dan pendapat antara dunia akademis dan dunia industri, kemudian terus-menerus diselaraskan dengan perkembangan zaman. Yang tak kalah penting, seperti Muchyar, Sumbo menginginkan mulai semester 4 atau 5, mahasiswa harus sudah diarahkan menjadi seorang spesialis, karena saat bekerja, perusahaan selalu mengedepankan spesialisasi.
Komar Hanafie
Pendiri DKV Universitas Pasundan
Tambal Sulam Kurikulum
Ketika mendirikan DKV di Unpas pada 1995, Komar mengacu pada kurikulum baku yang sudah digunakan di FSRD ITB ditambah kurikulum yang diterbitkan Kep. Mendikbud No. 0312/U/1994 plus kurikulum institusional Unpas sendiri yang menjadi warna lokal, misalnya kuliah Ilmu Budaya Sunda.
Karena terjadi perkembangan di masyarakat, dilakukan tambal sulam kurikulum. Mata kuliah sejarah dikurangi karena dianggap tak relevan, digantikan mata kuliah Konsep Teknologi untuk membuka wawasan cara berpikir analisis. Tapi mata kuliah ini sekarang di DKV Unpas sudah dihilangkan, meski di ITB sendiri masih dipakai. Kuliah Manajemen Periklanan juga ikut dihilangkan. Menurut Kepmendiknas No.232/2000, menciptakan kurikulum harus menyertakan stake holder. Karenanya menurut Komar, seorang pimpinan di lembaga pendidikan seni rupa harus memiliki visi seni rupa dari pendidikan itu sendiri.
Ditanya tentang kriteria calon mahasiswa DKV, bagi Komar tak cukup cuma minat, tapi juga harus ada bakat. ”Hambatan di Indonesia, bakat-bakat itu kurang muncul karena kurikulum yang kurang jelas di tingkat sekolah menengah umum,” sesal Komar. Komar menuturkan, pendidikan kesenian di SMU saat ini hanya menjadi pelajaran pelengkap. Padahal, zaman ia SMA di tahun 1958, ada pelajaran menggambar dan ada ujian nasionalnya, sehingga kualitas mahasiswa seni rupa yang berbakat pada masa itu lebih bagus dari sekarang.
Arief Adityawan S.
Mantan Ketua Program Studi DKV Untar
DKV Jadi Fakultas dan Perlunya Asosiasi Pengajar
Meski beberapa sekolah desain sanggup secara fleksibel merevisi kurikulumnya dengan mengabaikan Kurikulum Nasional (Kurnas) yang ditetapkan Depdiknas, masih banyak perguruan tinggi (PT) desain yang berusaha tetap patuh pada ketentuan Kurnas, salah satunya Untar. Masalahnya, kurikulum versi Kurnas terlampau luas, sehingga ketika lulusan memasuki lapangan kerja, butuh adaptasi yang cukup berat. Seperti halnya Sumbo, Adit (41) pun merasa perlu adanya kemandirian di setiap PT untuk merevisi dan bahkan menyusun kurikulumnya sendiri sesuai kebutuhan. Namun, Adit mengingatkan bahwa untuk urusan kurikulum, tetap penting untuk menjaga seni rupa sebagai akar keilmuan desain, sesuai dengan sejarahnya.
Hal penting lain yang diutarakan Adit adalah wacana agar DKV menjadi Fakultas. “Mengingat keluasan dari pengembangan DKV, sudah saatnya para pendidik, birokrat, dan semua yang terlibat memikirkan peningkatan status DKV dari sekadar Program Studi menjadi Fakultas DKV,” usulnya. Untuk itu, para pendidik, baik sebagai individu maupun institusi, dinilai Adit perlu duduk bersama membangun sebuah komunitas keilmuan DKV yang bertujuan mengembangkan DKV sebagai sebuah rumpun keilmuan, atau bidang profesi tersendiri yang memiliki lingkup kerja cukup luas. “Dan komunitas ini nantinya dapat menjadi mitra bagi Adgi,” ramal Adit.
Andi S. Boediman
Presiden Direktur Digital Studio, Anggota Presidium Adgi
Dibutuhkan Kurikulum Industrialis
Berbeda dengan yang lain, Andi (36) berpendapat, hal pertama yang harus dilakukan untuk membenahi pendidikan DKV, harus dimulai dari industri – bukan dari dunia pendidikan itu sendiri – di mana kurikulum pendidikan DKV dibuat berdasarkan kebutuhan industri; sebut saja, kurikulum industrialis. Ia mengeluhkan, saat ini kurikulum yang ada terlalu banyak muatan pelajaran-pelajaran yang tidak relevan dengan kebutuhan pelaku industri. Misalnya, kuliah rupa dasar. Asosiasi desainer grafis – dalam hal ini Adgi – menurut Andi, harus bisa menjadi driving force dalam urusan kurikulum pendidikan. Bukan Diknas, karena Diknas seharusnya menjadi fasilitator. Andi berharap, seharusnya asosiasi bisa berkata, “Ini lho, kurikulum yang dibutuhkan! I say so, because the industry say so. Karena kita sebagai pelaku industri yang harus mengatakannya, bukan pemerintah. Tugas pemerintah hanya meng-endorse.”
Ketika ditanya, apakah tidak khawatir kurikulum seperti itu cuma akan menghasilkan lulusan robot-robot industri? Andi balik bertanya, “Pertanyaannya, mau lulus jadi pendidik atau bekerja di industri?” Andi lantas berbagi cerita bahwa di Jerman, jalur pendidikan akademisi dan praktisi, dipisahkan. Jalurnya jelas, universitas untuk jalur akademis, sementara diploma untuk jalur praktisi. Di Amerika, tambahnya, yang satu namanya college, yang satu university. Keduanya memiliki jurusan graphic design. Semua institusi pendidikan yang memakai nama university, jurusan desainnya bernama visual communication. Dan, ini adalah jalur akademis. Tapi semua institusi dengan nama academy of art, art college, atau center of design, jurusan desainnya dinamai graphic design. Baik university maupun college, keduanya sama-sama menghasilkan lulusan S1. “Problemnya, di Indonesia, program diploma seakan tidak pantas bersanding sama tinggi dengan S1,” tukasnya dalam nada sesal.
Hastjarjo B. Wibowo
Anggota Presidium Adgi, Aktivis FDGI
Adgi Benahi Industri Dulu
Keberadaan Adgi (sebagai asosiasi yang mewadahi desainer grafis di Indonesia yang belum lama ini kembali menggeliat setelah 26 tahun hidup segan mati tak mau, red) memang menjadi suatu angin segar bagi pembenahan pendidikan DKV, antara lain untuk urusan regulasi bagi penyelenggara pendidikan DKV yang menjamur di sana-sini. “Sebetulnya tidak ada salahnya membuka sekolah desain di mana-mana. Tapi, selama ini tidak ada regulasi yang bisa menjamin agar penyelenggara pendidikan benar-benar menekankan faktor kualitas. Artinya, infrastruktur yang memadai, kurikulum yang benar-benar sesuai dengan tuntutan zaman, kemudian para dosennya pun memenuhi kualifikasi. Itu semua tidak ada,”
ungkap Hast (37).
Meski dalam Kongres Adgi (19 April lalu, red) urusan pendidikan DKV sudah ditempatkan ke dalam agenda branding platform, agaknya dunia pendidikan DKV belum bisa berharap banyak kepada Adgi, karena saat ini Adgi sendiri masih disibukkan oleh pembenahan organisasi. “Sebenarnya di beberapa negara maju di luar negeri, asosiasi profesi itu sangat berperan dalam proses akreditasi dan sertifikasi, baik pendidikan maupun profesi. Tetapi di Indonesia belum bisa seperti itu. Karenanya, Badan Akreditasi Nasional yang melakukannya. Adgi masih harus menjalankan fungsi sebagai assessor terhadap dunia industrinya, karena dunia industri kita bisa dibilang kurang bagus, masih ada free pitching dan lain-lain,” demikian yang diakui Hast. Adgi sendiri berfungsi sebagai lembaga intermediasi untuk membangun industri desain grafis sebagaimana mestinya. Ia menjanjikan Adgi akan berbenah pelan-pelan, “Tiga tahun mungkin belum beres, butuh waktu yang lebih panjang.”
Mengenai tingginya biaya pendidikan DKV, Hast berpesan kepada mahasiswa, “Kalau pendidikan dikatakan sebagai industri, semestinya mahasiswa pun harus sadar bahwa mereka adalah konsumen pendidikan. Bila kemudian merasa ada ketidakadilan dalam relasi industri itu, mahasiswa seharusnya berani complain.”
Yongki Safanayong
Ketua Program Studi DKV Universitas Pelita Harapan
Local Content untuk Membangun Karakter
Tantangan terbesar yang harus dihadapi sekarang, menurut Yongki (56) adalah banyaknya desainer yang tidak siap. “Saya tidak menyalahkan mahasiswanya. Mungkin salah institusinya yang tidak jeli melihat perkembangan industri.” Ia kemudian menuturkan bahwa pendidikan dan masyarakat adalah dua tempat yang berbeda. Yang satu tempat yang idealis, yang satu adalah dunia nyata. “Pendidikan harus menjadi jembatan di antara keduanya, dan jembatannya harus sependek mungkin. Dari mulai kurikulum ke silabus ke satuan acara perkuliahan per minggu, sampai ke latihan-latihannya, harus mewakili apa yang dibutuhkan. Jadi, pendidikan harus terbuka!” tegas Yongki.
Di UPH sendiri, misi dan visi pendidikan DKV-nya terangkum dalam kata leadership. “Kepemimpinan, di manapun berada, harus ada spirit itu,” tegasnya lagi, sambil menambahkan bahwa kepemimpinan tersebut mesti diselaraskan dengan ciri pendidikan UPH. “Local content-nya yaitu 3 R + I atau Rasa, Rasio, Religi plus Industri. Rasa itu estetika, rasio itu logika, dan religi itu etika. Ketika bicara etika, di situ terkandung sikap. Sekarang yang paling penting dalam dunia pendidikan DKV adalah karakter dan sikap. Karakter, agar setiap institusi itu punya warna yang berbeda, karena Indonesia itu sama. Institusi pendidikan DKV yang ada di Surabaya tidak harus sama seperti yang ada di Jakarta. Harus sesuai kebutuhannya.”
Meski mengaku sempat memandang negatif kurikulum nasional, mengingat dulu ada semacam pendiktean, Yongki menganjurkan agar local content juga harus diserasikan dengan kurikulum nasional. Ia menyebutkan, “Sekarang pemerintah lebih terbuka terhadap swasta. Inilah kesempatan supaya tiap sekolah mencari sendiri warnanya. Trisakti beda dengan Untar, Untar beda dengan Binus. Tapi tetap harus ada satu root: kita sebagai insan budaya. Tinggal pilih, penekanannya mau ke mana: menjadi insan budaya sebagai desainer, atau menjadi insan budaya sebagai pengamat, atau yang lebih ke industri. Sah-sah saja, kan?”
A.D. Pirous
Pendiri DKV ITB
Pendidikan yang Visioner
Tantangan zaman ketika A.D. Pirous (74) memulai DKV ITB pada tahun 1973, tentunya sudah jauh berbeda dari zaman sekarang. Dahulu perkembangan dunia periklanan dan “binatang” komputer –demikian Pirous menyebutnya—belum sefantastis ini. Setelah berada dalam era informasi, pendidikan harus terus menyesuaikan. “Nah, saya sudah melakukan sesuatu lebih dari 30 tahun yang lalu dengan tantangan di zamannya. Seyogyanya sekarang ada revisi terus, melihat gelagat yang ada di luar, kemudian barulah menyusun strategi persiapan di dunia pendidikan. Sehingga tidak terjadi alienasi antara pendidikan dan lapangan kerja. Tapi,v jangan diartikan sebagai apa yang dibutuhkan masyarakat, lantas dibuat dalam pendidikan. Bukan begitu, meski kenyataannya memang demikian. Yang paling penting adalah: pendidikan ini berjalan melahirkan tenaga-tenaga visioner yang futuristik. Pendidikan tidak mengacu kepada pasar, tapi pendidikan berjalan, dan pasar bisa mengacu kepadanya. Kalau kita buat pendidikan yang konseptual, visioner, dan futuristik, pasarnya bisa mengikuti. Tapi untuk bisa visioner, tidak bisa terlepas dari pasar. Karena itu seorang guru punya kewajiban untuk berkecimpung di luar sehingga bisa memberi masukan. Sehingga pendidikan tak lagi menjadi sesuatu yang berada di menara gading,” papar Pirous panjang lebar.
Tentang kurangnya tenaga pengajar desain, Pirous menjelaskan, “Penyakit itu tak hanya di desain, tapi di seluruh sistem pendidikan kita. Jadi biasanya yang menjadi guru adalah orang yang tidak mendapat kesempatan kerja di perusahaan. Sehingga orang-orang yang menjadi guru adalah orang-orang mediocre, yang umumnya kualitasnya tidak lebih tinggi. Itulah sebabnya dunia pendidikan kita makin lama makin merosot, karena mereka tidak bisa hidup sebagai guru. Saya mencoba menetapkan diri sebagai guru yang ideal tanpa menggantungkan hidup saya dari gaji sebagai guru. Saya melukis, saya menjual lukisan saya, saya hidup dari situ. Sehingga waktu mengajar saya terpelihara dengan baik. Tapi tidak banyak orang yang seperti saya. Bagi saya, menjadi guru itu suatu idealisme, volunteer, saya membutuhkan itu tapi tidak hidup dari situ.”
Pirous mengingatkan bahwa ilmu harus dipakai bersama dengan moral. Misalnya, seseorang punya kekuatan dalam ilmu DKV tapi bekerja di suatu perusahaan yang profit oriented namun dengan cara-cara yang lebih banyak tidak benarnya. “Bagi seorang yang tidak bermoral, dia akan tetap mengerjakan itu karena dia hidup di sana. Tapi bagi seorang yang bermoral, once you know that it’s not right, dia tidak akan lakukan. Di situlah tantangannya, ilmunya berguna untuk manusia atau tidak,” tandasnya.
Pirous juga menambahkan, “Yang tidak ada pada zaman dulu adalah kecepatan. Orang jadi melayang, bukan lagi berjalan. Pendidikan sekarang ini harus sadar itu, dan memaku kembali ke buminya, agar identitas dirinya tidak terlindas arus dunia. Globalisasi secara fitrah melanda semua karakter individu – sehingga semuanya menjadi satu individu – di mana Indonesia bisa hilang. Walau desain itu sifatnya terbuka, tapi aspek individual itu harus tetap disadari, supaya kita berbeda dengan Thailand, Malaysia, Jepang. Kalau tidak, suatu saat kita bisa saja bertanya: where are you, Indonesia?”
Wardiman Djojonegoro
Mantan Menteri Pendidikan & Kebudayaan 1993 – 1998
Terapkan Link and Match
Wardiman berasumsi, 90% orang Indonesia memiliki bakat seni. Karenanya ia merasa gembira jurusan DKV bisa menampung darah seni dan mengembangkannya menjadi sesuatu yang bisa digunakan di dunia modern. Namun Wardiman mengingatkan, jangan education for education only. Yang penting adalah link and match, di mana yang dipentingkan adalah mutu SDM-nya, dalam hal ini mahasiswa, sehingga dapat bersaing di dunia global.
OTHER OPINION:
Wardiman menyadari terdapat potensi besar dalam industri desain, tapi ia sekali lagi mengingatkan, bahwa tingkat ekonomi Indonesia yang masih rendah belum matang untuk lulusan DKV saat ini. Karenanya, institusi pendidikan hendaknya pandai-pandai menerapkan konsep link and match tadi. Dan menurutnya, celah-celah potensi di Indonesia, misalnya dunia iklan yang anggarannya naik 30% tiap tahun – baik di media cetak/elektronik/TV/radio/retail – mungkin perlu diteliti agar lulusan-lulusan DKV dapat menggantikan pekerja-pekerja asing yang memenuhi lapangan kerja Indonesia.
Rahadian P. Paramita
Alumni DKV Unpas angkatan 1995
Tarik Ulur Dana dan Fasilitas
Rahadian (30) ditemui dalam sebuah kesempatan temu alumni di Unpas awal April lalu. Salah satu tema yang disinggung dalam diskusi tersebut adalah transparansi pengelolaan dana pendidikan. Ketika lembaga pendidikan dimintai pertanggungjawaban tentang minimnya fasilitas yang disediakan, seringkali yang dijadikan alasan adalah tipisnya dana karena jumlah mahasiswanya sedikit, sementara biaya operasional pendidikan bergantung pada SPP mahasiswa. Rahadian berasumsi, solusinya adalah bagaimana uang yang sedikit itu dikelola dengan baik. “Jadi, kuncinya cuma pengelolaan. Selama pintar mengelola, insititusi tidak akan mati. Sekalipun institusinya kaya, kalau mismanagement, akan mati juga.” Ia menambahkan, “Saya tak begitu percaya kalau di universitas swasta di Jakarta yang biaya pendidikannya mencapai 25 juta rupiah itu akan lebih baik dari Unpas yang biaya pendidikannya cuma 4,5 juta rupiah. Karena pendidikan itu elemennya juga banyak, mulai metode pendidikan, pengajar, visi, kurikulum, dan lain-lain.”
Buat Rahadian, urusan fasilitas pendidikan hanya menjadi salah satu masalah saja, yang sebetulnya bisa diatasi jika ada niat. Agar fasilitas bisa lebih murah, menurut Rahadian, sebetulnya bisa dijalin kerjasama antar kampus. “Nah, kalau perguruan tinggi swasta, yang saya cermati sebetulnya bagaimana yayasan punya itikad baik untuk investasi,” katanya yang lalu melanjutkan penuh semangat, “Yayasan tidak bisa begitu saja bicara cuma hidup dari SPP mahasiswa. Bila yayasan berani mendirikan lembaga pendidikan, berarti punya modal. Kalau tidak sanggup menghidupinya, ya, jangan bikin!”
Maria Stefannie Wulansari
Mahasiswi DKV Binus Angkatan 2001
Punya Basic, Tinggal Eksplor Diri
Di tengah anggapan bahwa kurikulum pendidikan DKV terlalu luas, Maria Stefannie Wulansari atau Fanny (22) malah merasa dirinya lebih beruntung dibanding adik kelasnya yang diharuskan mengikuti peminatan di semester 5 untuk memilih animasi, multimedia, atau lainnya. Bagi Fanny, dengan adanya peminatan, mata kuliah memang jadi lebih terfokus, tapi kekurangannya adalah mahasiswa jadi kurang tahu tentang banyak hal. Sebaliknya, ia merasa lebih beruntung dengan kurikulum yang ia jalani, di mana ia bisa belajar tentang dasar-dasar dari banyak hal. “Ada basic. Selanjutnya tinggal mengeksplor diri. Kalau sudah punya basic, kan gampang!” ceplosnya ringan.
Mengenai kesempatan kerja setelah lulus, Fanny yang ingin bekerja di penerbitan majalah perempuan ini merasa tak ada yang harus dikhawatirkan, selama punya kelebihan. “Kalau tidak dapat kerja, ya usaha sendiri saja. Usaha sablon juga boleh,” tutupnya dengan senyum.
Dari seluruh pendapat, jika penulis menarik benang merah lalu menyimpulnya, dunia pendidikan DKV Indonesia cuma perlu satu kalimat, “Semua yang terkait (instansi-pengajar-yayasan-mahasiswa) harus menyadari dan mengerjakan tanggung-jawab berdasarkan posisi masing-masing…” Bagaimana dengan pendapat Anda sendiri? (suss)
Sekilas Sejarah DKV di Indonesia
Perkembangan desain modern di Indonesia, khususnya DKV, banyak dipengaruhi oleh pelopor sekolah desain modern di Weimar, Jerman, yakni Bauhaus yang menggabungkan berbagai bidang seni murni, desain dan arsitektur.
Diawali tahun 1947, di Bandung berdiri sekolah guru gambar yang menjadi bagian dari Fakultas Teknik UI Jakarta. Menyusul tahun 1957, “seni interior” masuk di ITB. Sedangkan perkembangan DKV di Indonesia sendiri, merupakan bagian yang terkait erat dengan strategi pembangunan Orde Baru. Masuknya investor asing secara signifikan sesudah tahun 1966 – 1967 menyebabkan dunia desain grafis dan periklanan tumbuh pesat.
Menyikapi hal ini, pada tahun 1968 – 1969, ITB mulai memikirkan perlunya pendidikan yang dapat mengantisipasi kondisi tersebut. Maka, pendidikan desain grafis pun mulai dikembangkan, karena tidak memungkinkan lagi ditempatkan di bawah Studio Seni Grafis (Jurusan Seni Rupa). Akhirnya, tahun 1973, Seni Rupa ITB membuka jurusan Desain Grafis pertama di Indonesia. A.D. Pirous adalah tokoh pendiri sekaligus orang pertama yang memimpin dan mengajar di jurusan ini (nama jurusan kemudian diganti menjadi studio, dan kini berubah lagi menjadi program studi). Di dalamnya, seni rupa dan desain sudah mulai dipisahkan. Baru pada tahun 1983 mereka memasukkan kata ‘komunikasi’.
Di tahun yang sama, Desain Grafis ISI Yogyakarta masih menggunakan nama Jurusan Reklame (sebelum bernama ISI; awalnya ASRI yang sempat menjadi STSRI ASRI). Sementara di Jakarta, IKJ membuka jurusan DKV pada tahun 1977 yang diprakarsai oleh antara lain alm. S. Prinka dan Priyanto Sunarto. Awalnya ditujukan untuk program D3, namun dalam perkembangannya menjadi S1.
Istilah Desain Grafis menjadi Desain Komunikasi Visual (DKV) dengan berbagai perluasan. Dewasa ini DKV merupakan disiplin pendidikan yang telah tersebar nyaris di seluruh pendidikan tinggi desain di Indonesia. (suss)
Design Lab – Frienship Become Family
Bertemu di negeri orang, berteman, pulang lalu membuka usaha bersama. Itu yang dilakukan 5 sobat karib pendiri DESiGNLab. Kilas kisahnya dituturkan Ina dan Nia (dua dari mereka) yang Concept temui suatu sore di kantor mereka…
Kota Atlanta, Amerika Serikat, punya kesan dan andil tersendiri bagi 5 sobat karib di balik sukses DESiGNLab. Karena walau sama-sama berasal dari Indonesia, mereka baru saling kenal, kumpul-kumpul, lalu bersahabat justru saat merantau di sana. Divina Natalia (Ina) dan Nia Karlina (Nia) kebetulan teman satu flat (roommate) dan sama-sama mengecap pendidikan desain, tapi di universitas yang berlainan, Portfolio Center dan The American College for the Applied Arts. Sementara Sandra Pranoto (Sandra) dan Uli Pandjaitan (Uli) yang juga roommate dan Lidya Eman (Lidya) masing-masing memilih jalur pendidikan finance, sosiologi dan marketing di Georgia State University dan Villanova University (Pennsylvania).
Tahun 1997, satu demi satu mereka pulang ke tanah air. Ina lantas bekerja di perusahaan desain, Nia freelance di beberapa perusahaan, Sandra dan Uli membuka restoran Jepang (Lidya waktu itu belum kembali ke Indonesia, red). Seperti yang sudah-sudah, mereka kembali melanjutkan aktivitas kumpul-kumpul, masak-masak, jalan-jalan, shopping atau sekadar nongkrong bareng. Karena telah merasa nyaman satu dan lainnya, muncul ide untuk merekat hubungan tersebut agar makin lekat dengan membangun usaha bersama. Tahun 1998, saat post-crisis tengah melanda Indonesia, mereka justru memulai fondasi DESiGNLab …
MEMANFAATKAN KRISIS SEBAGAI PELUANG
Bagi para ‘Designlabbers’(nickname untuk sebutan mereka berlima), krisis bukanlah penghalang yang harus ditakuti, tapi sebaliknya merupakan peluang yang harus dimanfaatkan sebaik-baiknya. Banyaknya studio desain asing yang terpaksa hengkang dari tanah air – sekaligus berkurangnya daya beli perusahaan karena badai krisis tersebut – tak hanya dijadikan kesempatan menyalurkan passion dan kreativitas dalam karya desain, tapi juga membuktikan kemampuan dalam membantu produk Indonesia untuk bersaing dengan produk asing dalam segi desain brand dan packaging; sudah tentu dengan harga yang kompetitif.
Mereka berlima lalu bahu-membahu membangun DESiGNLab. Ina dan Nia bertanggung-jawab pada desain, Lidya dan Uli fokus di marketing dan client services, serta Sandra bertanggung jawab mengurus keuangan. Semua dijalani berlima, tanpa office boy maupun supir. Order pertama datang dari perusahaan pengeboran minyak (drilling company) yang memercayakan desain logonya. Menyusul kemudian client-client seperti yang beberapa artworknya Concept tampilkan mendampingi artikel ini.
BAD CLIENTS – GOOD CLIENTS
Namun, seperti usaha pada umumnya, perjalanan Designlabbers tak mulus-mulus saja. Proses pitching yang mereka lalui, kadang membuat kesal, karena desain mereka ternyata direalisasikan klien lewat jasa studio desain lain. Belum lagi klien yang kebanyakan minta dibuatkan pilihan, tapi ujung-ujungnya memilih desain yang pertama. Nia lalu menukas, “Desain pertama selalu yang terbaik, kan?”
Yang terparah dari semuanya, ada yang tak melunasi sisa tagihan. “Karena di masa itu kondisi perusahaan belum semaju sekarang, kami memutuskan untuk melupakan perkara tersebut, mengingat jasa kolektor ataupun pengacara tidak murah…” ikhlas Nia. Klien semacam ini sudah pasti tak akan dipertahankan oleh DESiGNLab. Nia juga mengeluhkan jenis klien yang memerlakukan DESiGNLab bukan sebagai partner melainkan sebatas supplier. Maksud Nia, supplier bekerja sesuai brief dan spec, sementara, jika diperlakukan sebagai partner, klien melibatkan mereka hingga dalam hal memberikan saran, kritik dan berdiskusi demi menemukan solusi/cara efektif mengomunikasikan produk mereka agar diterima konsumen.
Tapi mereka tak lantas berputus asa. Tak jera mengikuti pitching (Kini tak lagi. Bukan akibat jera, tapi ingin mengerjakan yang pasti-pasti saja, red), lebih jeli memilih klien, waspada soal penagihan, tetap sabar sepenuh hati mengerjakan proyek untuk klien selanjutnya. Tak salah mereka memilih nama DESiGNLab. Selain mudah diingat dan diucapkan, juga mengandung pengertian tentang kesabaran, ketelitian, serta keseriusan layaknya seorang ilmuwan yang tekun berkutat melakukan penelitian dalam laboratorium.
Nia menerangkan, “Kami sangat sadar bahwa semua kepercayaan yang telah terjalin dengan pihak klien dan supplier merupakan harta termahal yang harus dipertahankan dengan penuh tanggung jawab. Kami tak hanya berusaha memecahkan masalah yang dihadapi para klien, namun juga mewujudkan impian mereka dalam bentuk visual yang kreatif, inovatif dan tanpa batas. Komunikasi yang efektif dengan pihak klien juga merupakan hal penting untuk lebih memahami kebutuhan dan keinginan mereka, sehingga pesan yang ingin disampaikan lewat setiap desain yang dihasilkan dapat lebih jitu mengenai sasaran. Percaya atau tidak, klien umumnya memang lebih mengenal produknya. Mereka bahkan punya feeling selling yang sangat kuat. Kadang pilihan-pilihan mereka kita nilai jelek, ternyata setelah diaplikasikan, penjualan produknya melambung tinggi!” Berdasarkan hal tersebut, Ina dan Nia mengaku tak selalu melakukan riset lapangan. “Tergantung budget klien. Dari cerita dan data yang diberikan mereka, biasanya sudah memadai untuk dijadikan referensi. Misalnya snack produksi Korea, kami tak sampai harus riset ke sana,” sambungnya mantap.
Dengan cara-cara kerja yang fleksibel dan negotiable seperti itu, tak mengherankan jika jumlah returning clients mereka mencapai 75% tiap tahunnya. Klien-klien yang setia menjalin kerjasama (5-7 tahun), tak hanya rajin memberi order, tapi juga memromosikan DESiGNLab secara mouth to mouth. Jenis promosi ini dinilai Ina sebagai promosi terkuat yang sulit ditandingi. Bukan berarti mereka lantas tak melakukan promosi lain. Pasang iklan di yellow pages, mengirimkan gimmick (flyer, company profile, etc) serta pameran, tetap mereka tempuh demi kepentingan eksistensi. Satu hal yang mengejutkan, jika sebelumnya Nia berkeluh mengenai klien yang enggan membayar, sebaliknya ada klien yang membayar langsung secara cash di tempat – begitu hasil kerja diserahkan!
Secara umum, service yang diberikan DESiGNLab mencakup ‘Corporate dan Retail Identity’, ‘Branding’ dan ‘Packaging’, ‘Annual Report’, ‘Corporate Literature’, ‘Environmental Graphic’ dan ‘Interactive Media’, dengan fokus spesialisasi pada desain ‘Packaging’ dan ‘Identity Design.’ Obsesi mereka yang belum terealisasi adalah mendesain kemasan botol dan label ‘wine’…
2nd HOME – 2nd FAMILY
DESiGNLab bagi Designlabbers tak sekadar perusahaan, melainkan dianggap lebih sebagai rumah kedua – dan tim kerja layaknya second family. “Banyak pengalaman pahit, lucu dan seru yang kami share bersama, beyond their 9 (nine) to 6 (six) and five days a week office hours. Itu semua dikarenakan filosofi dasar yang kami semua yakini, bahwa in running the company, they should not only create a business – but most importantly, build a family,“ papar Nia disambut anggukan Ina. Pantas saja tingkat turn-over pegawai DESiGNLab sangat rendah. Dan dari mereka, tak ada satupun yang menyeberang ke competitor, melainkan mencoba berkarir di advertising atau karena harus membantu usaha keluarga. Setelah keluar, hubungan mereka tak lantas putus. Setiap mantan pegawai ini masih suka diajak kumpul, sekadar makan bersama. Bahkan jika ada acara kantor, misalnya saat ulang tahun DESiGNLab tiap 9 Januari, para alumni tersebut pasti diundang.
Sikap bersahabat dan kekeluargaan ini diterapkan Designlabbers dalam hubungan kerja, karena ingin keakraban dan keterikatan yang terjalin di antara mereka berlima ikut dirasakan anak buahnya. Sikap bersahabat yang mereka maksud mengandung pengertian yang sangat luas. Contoh soal, jika ada yang merasa suntuk di kantor, mereka diizinkan cari inspirasi di luar. Tempat favorit mereka dalam hal ini, toko buku.
Mereka juga sesekali refreshing ke luar kota semisal Bali, Sukabumi, Anyer, dll. Bahkan saat menggarap proyek untuk salah satu perusahaan penerbangan, mereka ketiban compliment tiket gratis untuk jalan-jalan ke Makassar, rame-rame!
Hal menyenangkan lainnya, karena DESiGNLab banyak mengerjakan desain kemasan snack (biskuit, cokelat, nugget, dll), mereka kerapkali kebanjiran tester tak hanya dari produk klien tersebut, tapi juga dari beberapa kompetitornya. Setiap anggota tim DESiGNLab juga terlatih untuk open terhadap kritik. Siapa saja boleh mengomentari karya anak lain. Mereka kadang saling mencela (sebatas menggoda) di meja meeting. Tiap kali ada anak yang baru bergabung, pasti kebingungan dan uring-uringan sendiri mengalami ke’iseng’an senior-seniornya.
Meski begitu, bukan berarti tim DESiGNLab berisi orang-orang yang selalu hura-hura. Dalam suasana kekeluargaan yang riang dan nyaman, mereka tetap bekerja secara profesional dengan hasil yang maksimal, sesuai pengertian di balik nama DESiGNLab…
BERTAHAN KARENA SALING PERCAYA
Seperti yang sudah kita bahas di awal, DESiGNLab dibentuk oleh tangan-tangan perempuan. Dan atasan perempuan biasanya dinilai negatif karena teori bahwa dalam hal apapun, perempuan lebih banyak menggunakan perasaan. Bisa Anda bayangkan jika bosnya ada lima dan perempuan semua? Bagaimana mereka mempertahankan hubungan sebagai sahabat maupun rekan usaha? Simak tanya jawab berikut …
Concept: Bersahabat dan menjadi rekan usaha adalah dua hal yang berbeda. Tak adakah kekuatiran konflik usaha akan merusak hubungan kalian satu sama lain?
Nia: Secocok apapun, yang namanya perbedaan pendapat pastilah ada. Jujur, pada awalnya, kami sering ribut. Kadang gelas pun jadi korban. Pernah kejadian, ada yang berantem di saat yang lain tengah follow up klien lewat telpon. Yang menelpon terpaksa masuk kolong dan berkali-kali minta maaf pada klien yang diajak bicara. Hahaha… Lucu, jika mengingatnya kembali! Tapi karena berangkat dari persahabatan, usai ribut biasanya baik sendiri dan masing-masing kembali bertindak profesional.
Concept: Yang memiliki minat di bidang desain hanya Nia dan Ina. Pernahkah terlintas di benak kalian untuk memecah dan buka usaha sendiri-sendiri? Jika ada, jenis usaha apa?
Ina: Tidak pernah! Yang ada malah ingin buka usaha bersama lagi. Hmm.. Inginnya sih, buka Bank!
Concept: Lho! Kenapa Bank? Jauh amat…
Ina: (Hanya mesam-mesem)
Concept: Sebagai pemilik sekaligus pegawai, apakah kalian sama-sama menggaji diri sendiri? Bagaimana dengan sistem pembagian keuntungan?
Ina & Nia: Gaji sama besar, pembagian keuntungan sama rata, masing-masing 20%. Waktu pembagian keuntungan dilakukan tanpa jadwal pasti, tergantung kesepakatan bersama.
Concept: Apa rahasia kalian dalam memertahankan hubungan sesolid ini?
Ina & Nia: Kami sadar, bahwa dasar dari satu hubungan yang kokoh atau perusahaan yang solid adalah rasa percaya. Bila Anda tak dapat memercayai keluarga atau sahabat sendiri, maka siapa lagi yang dapat dipercaya untuk membangun dan memertahankan semua itu?“
Concept: Itu yang terjadi di antara kalian berlima. Bagaimana dengan anak buah?
Ina & Nia: Tak ada bedanya. Kami memberi kepercayaan penuh dan kebebasan berekspresi pada setiap mereka, agar mereka dapat memberikan hasil terbaik!
Concept: For last, sekarang masih suka ribut?
Ina & Nia: Hahaha…. (mereka tertawa bersama). Enggak, lah! Malu sama anak buah…
Matahari yang berpulang mulai digantikan angin dan hujan. Sembari menunggu jemputan, Concept melanjutkan obrolan ringan dengan Nia (Ina pamit duluan karena telah dijemput) ditemani aneka kue kecil dan secangkir teh panas (isi ulang! ;p ). Sambutan tuan rumah yang hangat serta suasana nyaman kantor DESiGNLab, membuat waktu berlalu tanpa terasa (setelah beberapa kali berpindah-pindah kantor, kini DESiGNLab menempati rumah putih nan asri di area wijaya IV). Selang beberapa saat, Concept akhirnya pamit (dipayungi Nia menuju mobil jemputan dari kantor) dengan membawa sejuta kesan. Hmm, pantas saja klien mereka terpikat dan bertahan… (ediron)
SAATCHI DESIGN
Komunikasi dulu Baru Estetika
Dalam desain, estetika menjadi faktor yang sangat penting. Tapi bagi Saatchi Design, komunikasi jauh lebih penting…
Berdiri tahun 1997, Saatchi Design merupakan divisi desain grafis dari Saatchi & Saatchi, Sydney. Saatchi Design telah menghasilkan karya-karya peraih penghargaan internasional untuk berbagai perusahaan. Lingkup usaha mereka mencakup proyek-proyek corporate hingga organisasi kecil berbasis seni. Mereka memilih untuk tetap bertahan dengan studio kecil berkekuatan total hanya enam personil (3 orang desainer, 1 orang produksi, 1 orang akunting dan 1 orang humas paruh waktu). Biasanya, ketiga desainer bekerja sebagai tim konseptualisasi proyek, lalu berlanjut dengan meeting bersama klien untuk presentasi hasil kerja mereka.
Saatchi Design adalah perusahaan desain yang dimotori ide-ide brilian. Pendekatan mereka lebih mengedepankan komunikasi, baru kemudian faktor estetik. Namun, ketimbang menulis sebuah pernyataan misi atau filosofi – yang mungkin akan terkesan wah, Saatchi lebih memilih untuk menyatakan apa yang mereka yakini dalam kalimat-kalimat yang lebih sederhana. “Menurut kami, mengomunikasikan ide-ide yang kuat akan mengangkat style dan pada gilirannya akan menguntungkan klien. Sesederhana sekaligus sesulit itu, tapi sangat menyenangkan,” demikian Saatchi.
Poster-poster dengan pesan (komunikasi, red) yang kuat, terbukti memiliki tradisi sejarah panjang dalam memerjuangkan HAM (Hak Asasi Manusia) dan revolusi. Salah satu karya Saatchi Design yang menampilkan kekuatan kalimat yang sederhana adalah “Asbestos Poster”. Poster ini merupakan proyek amal yang dibuat untuk memerjuangkan ganti rugi bagi para korban pencemaran asbes di Australia. Untuk proyek poster ini, Saatchi Design mengaku tak memiliki tujuan politik dan merasa bangga bisa menyumbangkan sedikit andil dalam kampanye untuk keadilan sosial. (suss)